Pemerintahan Presiden Joko Widodo membangun pembangkit listrik 35.000 MW. Proyek yang dikritik Rizal Ramli dan disarankan untuk ditinjau kembali. Pak Jokowi singkat saja menjawabnya “itu sesuai kebutuhan dan ada itung itungannya. Saya belum mengetahui hitung hitungan Pak Rizal Ramli yang mendasari argumentasi kitiknya. Artikel ini bukan bermaksud membela Pak Jokowi tapi hanya mencoba menghitungnya dari sisi pengadaan batu bara sebagai bahan bakar utama proyek tersebut. Mari kita berhitung.
Sebagaimana banyak info di berbagai media bahwa pembangunan pembangkit listrik tersebut 60% berupa Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU. Tentu operasi teknologi ini berbahan bakar batubara. Enampuluh persen dari 35.000 MW adalah 21.000 MW.
Jika 1 MW (megawatt) membutuhkan 14 MT batu bara ( base on 5500 Kcal) per 24 jam. Dengan demikian asumsinya 14 Metrikton batubara dikali 21.000 MW, jadinya diperlukan 294.000 Ton / hari. Setahun 360 hari x 294.000 = 105.840.000 MT per tahun ketika beroperasi penuh pada 2019.
Proyek pembangkit tenaga listik bukanlah proyek investasi jangka pendek 5 atau 10 tahun. Berapa besar investasinya tidak masuk pembahasan artikel ini. Namun setidaknya dari sisi suplai batubara dengan prospek proyeksi operasi pembangkit listrik bisa sampai 30 tahun.
Jika kebutuhan 105.840.000 MT per tahun, untuk 30 tahun dibutuhkan 3.175.200.000 Metrikton. Tiga milyar seratus tujuh puluh lima juta dua ratus ribu Metrikton.
Adakah bumi kita mempunyai cadangan sebesar itu hingga 30 tahun kedepan. Cadang deposit terukur di dalam bumi Kalimantan mungkin mencapai 6 milyar metrikton sebagai gambaran perbandingan antara kebutuhan dan cadangan batubara. Dari sisi suplai jumlah cadangan tersebut bermakna bahwa operasi pembangkit listrik PLTU berkapasitas 21.000 MW masih tergolong aman.
Dari angka angka ini apa yang ada dalam bayangan pikiran kita. Mungkin sebagai clue - pancingan diskusi kita ajukan pertanyaan. Apakahyang akan terjadi terhadap bumi di Kalimantan ketika kita eksploitasi tambang dengan jumlah sebesar itu. Dari sisi pandang lingkungan yang terbayang adalah lubang raksasa menganga dengan berbagai aspek dampaknya mungkin satwa monyet tak punya habitat lagi.
Atau akan ada vegetasi atau plasma nutfah yang mengalami mutasi bahkan mungkin punah sehingga tidak terdapat lagi genetis spesis aslinya. Tetapi jangan melupakan pula bahwa kebutuhan energy khususnya listrik merupakan upaya manusia untuk mempertahankan hidup human being. Kita tentu tidak ingin hidup lestari sejaman Paman Hucklebery yang harus bertarung dengan gorilla atau beruang – jaman batu.
Dari sisi pandang geologis bahwa batubara terbentuk melalui proses karbonisasi kayu akibat kerusakan hutan. Prosesnya bisa mencapai 34 juta tahun. Siapakah yang merusah hutan pada jaman itu apakah manusia atau ada sebab lain? Self termination system on universe.
Secara meraba raba kita mungkin bisa berfantasi bahwa 34 juta tahun lampau terjadi tabrakan benda langit – katakanlah meteorit yang mengakibatkan kebakaran hutan luar biasa, kemudian “sampah kebakaran” terbenam karena berpindahnya gunung menutupi lembah akibat erosi. Sederhananya, arang kayu hasil kebakaran hutan mengalami tekanan dari dalam perut bumi maupun dari permukaan.
Intinya ada kekuasaan maha luar biasa, mengapa alam hutan terbakar dan menghasilkan cadangan batubara bagi makhluk yang hidup 34 juta tahun kemudian alias dinikmati manusia sekarang. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Kalau nggak salah sering saya dengar orang ngaji baca Al-Qur’an surah Ar-Rahman “Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukazdibaan”