Mohon tunggu...
Syamsuddin B. Usup
Syamsuddin B. Usup Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kakek dari sebelas cucu tambah satu buyut. Berharap ikut serta membangun kembali rasa percaya diri masyarakat, membangun kembali pengertian saling memahami, saling percaya satu sama lain. Karena dengan cara itu kita membangun cinta kasih, membentuk keindahan hidup memaknai demokrasi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres 2014: Silhuet Pemilu Apa Boleh Buat

21 Agustus 2014   00:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:01 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Situasi polemis dan sengkarut seputar Pemilu 2014 yang sekarang di ranah hukum Mahkamah Konstitusi adalah gambaran realitas empiris kehidupan demokrasi kita. Pilpres 2014; Silhuet Pemilu Apa Boleh Buat.

Artikel ini sebelumnya adalah komentar dan tanggapan atas artikel  sahabat kompasiner yang dulu saya kenal dengan nama Rahmad Agus Koto dibawah judul Mengapa Kita Memilih Sistem Voting untuk Pilpres?”

Artikel beliau menarik perhatian karena “Mas Rahmad” melalui artikel pendeknya itu mengekspresikan keinginan untuk kembali prinsip azas Musyawarah untuk Mufakat dari falsafah Pancasila. Menurut saya keinginan tersebut adalah cerminan keinginan mayoritas rakyat Indonesia.

Saya mengapresiasi dan coba memberikan tanggapan melalui komentar pada lapak beliau. Tanggapan saya terbatas pengetahuan saya saja tentunya, maksudnya tanpa referensi sebagaimana artikel ilmiah. Tanpa referensi sumber sejarah. Artikel ini hanya bersandar kepada ingatan dan persepsi saya semata terhadap berbagai peristiwa masa lalu. Terdapat kekeliruan typo pada komentar saya yang sangat mengganggu. Untuk itu saya coba tuliskan sebagai “excuse” dan koreksi, yang coba meluruskan pengertiannya ***

Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila.

Dalam pandangan saya, pada zaman Bung Karno atau era Orde Lama, Pancasila adalah avan gardis, menjadi pemimpin terdepan dengan tetap membiarkan ideologi lain, Nasionalis, Islamis dan Sosialisme komunis sebagai ideologi politik rakyat berada dibawah payung sayap Garuda Pancasila. Bung Karno menyebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin.

Pada zaman Pak Harto atau era Orde Baru, dari sisi pandang ideologis Pak Harto meneruskan pemikiran Bung Karno.  Ide orisinil dari Bung Karno dilanjutkan saja oleh Pak Harto. Tetapi Pak Harto mengeleminasi sosialisme komunis dan menggantinya dengan kekaryaan. Saya tidak bermaksud membahas apa latar belakang dan mengapa beliau mengganti sosialisme komunis dengan Kekaryaan – Golkar.

Pancasila tetap memimpin terdepan yang implemtasinya disebut beliau sebagai Demokrasi Pancasila. Bahkan kemudian setelah penyederhanaan atau fusi partai politik, dalam hal mana Pancasila wajib menjadi azas tunggal kehidupan ekonomi, social, politik dan kebudayaan bangsa Indonesia.

Hal ini ditentang keras terutama oleh kelompok Islamis. Karena azas tunggal Pancasila tidak memberi peluang ideologi shariah Daulah Islamiah. Islamisme terkooptasi Pancasila. Kreatifitas serta kebebasan ideologis dianggap atau dipersepsikan sebagai  terpasung oleh ideologi tunggal Pancasila.

Penentangan terhadap azas tunggal Pancasila ini terus belangsung hampir selama Pemerintahan Presiden Soeharto. Hampir satu generasi kemudian muncul gerakan penganut sosialis komunis generasi baru yang "berjuang" mengembalikan komunisme kedalam  tatanan kehidupan kenegaraan.

Kelompok ideologi liberal memanfaatkan situsi politik ini, memanfaatkan gerakan Islamis dan sosialis komunis untuk mendepak Pancasila ke luar tatanan kenegaraan melalui gerakan Reformasi 1998. Pak Harto lengser, orde baru runtuh kelompok Islamis bersuka ria dan "sempat" berkuasa sekitar dua tahun dibawah Presiden Abdurrahman Wahid.

Ketika Pancasila berhasil disingkirkan, awalnya mereka berharap ideologi shariah daulah Islamiah akan berkuasa menjadi pemimpin negeri ini. Tetapi ternyata justeru kelompok liberal atau neo liberalis yang berkuasa. Kelompok nasionalis juga kecewa terhadap hasil reformasi, karena ternyata gagal mendudukan kembali Demokrasi Terpimpin ajaran Bung Karno.

Demikian pula nasib kelompok penganut sosialis komunis, ternyata mereka juga tidak bisa tampil kembali seperti sebelum pemberontakan G30S PKI, mereka harus terus berjuang untuk masuk kedalam kehidupan tatanan kenegaraan.

Entahlah apa yang akan terjadi pasca Pemilu 2014. Apakah mereka mampu tampil kembali di panggung politik negeri ini? Sepertinya perjuangan menghadapi kelompok Islamis pada era Orde Lama, sebelum 1965, nampaknya akan terus berlanjut.

Begitulah kira kira gambarannya menurut saya, enambelas tahun pasca gerakan reformasi hanya menghasilkan "negara apa boleh buat" di tunggangi neo liberalisme. Aktualnya,  kita merasakan betapa kisruhnya kehidupan politik kita. Situasi polemis seputar Pemilu 2014 yang sekarang di ranah Mahkamah Konstitusi adalah gambaran realitas empiris. Seperti silhuet Pemilu Apa Boleh Buat. Realitas yang saya kira memang “menyedihkan” para founding father republic ini karena Pancasila dengan azas musyawarah mufakat telah disingkirkan oleh liberalisme one man one vote.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun