Mohon tunggu...
Syamsuddin B. Usup
Syamsuddin B. Usup Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kakek dari sebelas cucu tambah satu buyut. Berharap ikut serta membangun kembali rasa percaya diri masyarakat, membangun kembali pengertian saling memahami, saling percaya satu sama lain. Karena dengan cara itu kita membangun cinta kasih, membentuk keindahan hidup memaknai demokrasi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemberantasan Korupsi Oleh Pasangan Capres Belum Jelas

16 Juni 2014   00:09 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:35 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengan methoda apa upaya pemberantasan akan dilaksanakan pada periode 2014-2019. Meskipun kedua pasangan capres menyampaikan hal serupa yaitu berkonsentrasi memberantas korupsi, namun masih pada ungkapan visi dan misi, masih berupa wacana. Program aksi akan kita temukan pasca Pilpres 9 Juli 2014. Entah bagaimana methodanya, secara tersamar keduanya menyatakan akan memperkuat lembaga KPK yang ada sekarang.

Sementara dari kubu pasangan nomer 1 Capres PrabowoHatta menyatakan memperkuat upaya memberantas korupsi dengan cara mengoptimalkan seluruh kekuatan penegak hukum pada lembaga kejaksaan, kepolisian dan lainnya. Apakah jika pasangan Prabowo Hatta terpilih akan berupa Jabatan Wakil Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Korupsi atau Wakapolri bidang Tipikor? Belum jelas.

Dari pasangan nomer 2 Capres Jokowi-JK, pernyataan pada debat pertama Cawapres Jusuf Kala menyatakan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak optimal jika jumlah penyidik hanya 60 orang. Nampaknya semuanya masih pada tataran normative karena tentu harus mempelajari seluruh ketentuan Undang undang yang ada. Pemerintahan dijalankan berdasarkan hukum buka atas dasar kehendak kekuasaan kepresidenan. Ringkasnya pada saat ini semuanya masih wacana.Belum jelas.

Masalahnya sangat tergantung kepada pandangan figure yang sekarang maju pada Pilpres 2014 serta seluruh sekondan pendukungnya. Jika pandangannya bahwa korupsi sudah merata menggurita ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Artinya kanker korupsi sudah menyebar pada seluruh strata social. Kasarnya, bangsa ini sudah dianggap menjadi bangsa koruptor. Nampaknya pemberantasan korupsi tetap tebang pilih, penindakan cenderung lebih keras menyamping yaitu terhadap figure dari kelompok pendukung lawan politik.

Sebagai catatan mungkin perlu mempelajari apa yang terjadi di Negara Komunis China. Akhir 1958 Mao mundur dari jabatan sebagai pimpinan Partai Komunis China. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.

Dibawah pemerintahan Liu Shaoqi terjadi reformasi atau sebaliknya dalam pandangan Mao Tse Tung adalah liberalisasi, berarti terjadi penyimpangan terhadap ajaran Pemimpin Besar Mao Tse Tung. Konflik dan perseteruan politik tak terhindarkan. Sementara liberalisasi menumbuhkan kebebasan, dengan implikasi tindak pidana korupsi semakin meruyak. Dari elit partai sampai rakyat jelata tidak dapat membedakan mana dan apa itu korupsi. Tudingan korupsi hanya ditanggapi sebagai “salah paham”.

Mao Tse Tung yang masih sebagai Ketua PKC, menghadapi budaya korupsi di seantero negerinya, dengan cara melaksanakan pemberantasan korupsi melalui GerakanRevolusi Kebudayaan ( istilah ini berbading dengan Revolusi Mental – Jokowi ) . Rakyat, terutama pemuda dan mahasiswa digerakan untuk “mencari” siapa saja pelaku korupsi pada semua tingkatan dari yang terendah sampai pada puncak pemerintahan dan pejabat partai komunis China. Rumah yang diberi tanda atau stigma koruptor akan dieksekusi oleh milisi yang disebut sebagai Pengawal Merah.

Namun Gerakan pemberantasan korupsi gaya Ketua Mao didukung olehmilisi yang dipimpin  Zhang Chung Qiao, Jiang Qing, Yao Wen Yuan dan Wang Hu Wen, popular disebut si Empat Serangkaimenjadi bias karena tebang pilih, lebih mengarah kepada pendukung lawan politiknya yaitu kelompok dibawah pimpinan Presiden Liu Shaoqi. Sebaliknya kelompok elit dan pendukung yang dekat dengan sang Ketua Mao terbebas dari eksekusi.

Gerakan Revolusi Kebudayaan ternyata berdampak terhadap stabilitas politik dalam negeri. Tumbuh gerakan perlawanan perlawanan dengan tema Penegakan Hak Azasi Manusia. Gambaran perlawanan terus berlanjut dapat kita saksikan dengan Peristiwa Tien An Mein. Selanjutnya pada kepemimpinan Deng Xio Ping terdapat pembagian dimana Partai Komunis China tetap konsen sebagai pemegang kendali politik, namun dalam bidang perekonomian terjadi liberalisasi menghadapi era pasar bebas, era globalisasi.

Begitulah menurut saya sekadar gambaran pembanding agar pada Pilpres 2014 ini dimana kita akan menentukan pilihan. Kita yang menentukan kearah mana bangsa ini dibawa kedepan oleh para pemimpin. Dalam pandangan politik saya, pasangan Prabowo-Hatta cenderung beraliran Nasionalis Liberal yang berhadapan dengan pasangan Joko Widodo – Jusuf Kala yang beraliran Sosialis Demokrat. Kedua pasangan memang masih belum jelas program aksinya dalam konteks upaya pemberantasan korupsi, kecuali sesudah mereka terpilih.

Sementara ada tertinggal satu pertanyaan, apakah Revolusi Mental Jokowi serupa meski tak sama dengan Revolusi Kebudayaan Mao Tse Tung di tanah Tiongkok sana?

*****

Bersambung dengan artikel : Upaya Pemberantasan Korupsi Menurut Catatan Wikipedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun