Mohon tunggu...
Syamsuddin B. Usup
Syamsuddin B. Usup Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kakek dari sebelas cucu tambah satu buyut. Berharap ikut serta membangun kembali rasa percaya diri masyarakat, membangun kembali pengertian saling memahami, saling percaya satu sama lain. Karena dengan cara itu kita membangun cinta kasih, membentuk keindahan hidup memaknai demokrasi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Justru Keputusan MK Bertentangan dengan UUD 1945

23 November 2012   08:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:47 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini Pak Yusril Ihza Mahendra menayangkan tulisan di Kompasiana yang berjudul : Batal Demi Hukum: Putusan MK Sama Sebelum Ketok Palu! Artikel menarik, meski saya bukan dari disiplin ilmu hukum. Mengapa? Karena artikel tersebut memberikan pemahaman tentang hukum terkait ketentuan huruf k pada  Pasal 197 ayat (1) KUHAP, tentang BATAL DEMI HUKUM. Sepemahaman saya intinya adalah, manakala keputusan atau suatu vonis pengadilan yang menyatakan seseorang bersalah dan dipidana dengan hukuman penjara sekian. Namun sesuai ketentuan huruf k Pasal 197 ayat (1) KUHAP maka vonis wajib memuat perintah agar terdakwa ditahan, tetap ditahan atau dibebaskan.

Jika vonis hakim tidak memuatnya maka berlaku ayat (2) dari pasal yang sama yaitu vonis atau keputusan pengadilan tersebut menjadi Batal Demi Hukum. Keputusan Mahkamah Konstitusi hari Kamis tanggal 22 Nopember 2012 memutuskan bahwa ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan Pasal 197 ayat (2) tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Jadi tidak adalagi ketentuan Batal Demi Hukum manakala keputusan pengadilan tidak mencantumkan seorang terpidana TETAP DITAHAN atau DIBEBASKAN. Pak Yusril memang hebat, saya yang awam hukum menjadi sedikit terang terang kain mengenai masalah hukum yang beginian.

Terasa risih untuk menanggapinya pada lapak beliau. Pak Yusril adalah professor hukum saya awam hukum. How dare I am..kok berani beraninya. Tak urung saya tetap memberikan tanggapan oot, saya tuliskan tanggapan pada lapak beliau bunyinya begini : Menyimak, ya samalah seperti ortu yang menyuruh anaknya makan, tapi yang dimakan tidak ada. Maka kewajiban makan bagi sianak berdasarkan perintah ortu menjadi “batal demi hukum”.  Harap maklumi saya orang awam. Suatu tanggapan yang menegaskan bahwa saya bukan dari kalangan hukum.

Meskipun sebenarnya masih ada yang terasa sedikit mengganjal. Saya mulai saja dengan bertanya mengapa, Ketua majelis hakim sebelum mengetuk palu dalam menjatuhkan vonis selalu didahului dengan ucapan kalimat  “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”, di semua pengadilan tingkat 1 (satu), tinggi dan kasasi di wilayah hukum NKRI. Menurut pandangan saya, disinilah konteks adanya ayat (1) dan ayat (2) Pasal 197 KUHAP.

Mengapa? Karena setiap tindak pidana harus diadili dipengadilan dan jika terbukti maka konsekuansenya adalah dipidana atau dihukum, semua sama dihadapan hukum equal before the law. Namun apakah hukuman harus dijalani oleh terpidana? Jawaban saya, belum tentu harus dijalani melainkan ada pengecualiannya. Mengapa ada pengecualian? Karena ada pertimbangan mutlak oleh seorang hakim atau majelis hakim berdasarkan prinsip UUD 1945 yaitu harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan prinsip Kemanusian yang adil dan Beradab. Kecuali Negara Republik Indonesia tidak lagi menganut prinsip falsafah Pancasila yang menjadi landasan ideologis UUD 1945.

Jadi Ketentuan huruf k ayat (1) dan ayat (2) Pasal 197 KUHAP justeru melaksanakan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan Prinsip Kemanusian Yang Adil dan Beradab sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Keputusan MK dalam hal ini justeru bertentangan dengan amanat UUD 1945. Konkritnya bagaimana agar bisa lebih jelas. Misalnya begini. Jika saya seorang yang uzur tertangkap tangan mencuri buah kakao dua biji, secara hukum perbuatan saya adalah mencuri.

Mencuri adalah tindak pidana dan jika saya terbukti bersalah melalui persidangan pengadilan maka konsekuensinya saya akan divonis bersalah. Namun apakah kondisi faktual saya yang sudah tua uzur harus menjalani hukuman? Pertimbangan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar keyakinan hakim yang menyatakan apakah saya dipenjara atau dibebaskan. Jika hakim menyatakan dibebaskan karena saya tua dan uzur, sedangkan saya terbukti bersalah maka hukum menjadi muskil adanya. Prinsip equal before the law jadi tidak berlaku.

Jika saya tua dan uzur dinyatakan terbukti bersalah dan tetap ditahan untuk menjalani hukuman maka hukum menjadi tidak berdasarkan prinsip Perikemanusian yang Adil dan Beradab. Jadi untuk tidak melanggar prinsip yang diamanatkan oleh UUD 1945 maka keyakinan hakim untuk menjatuhkan vonis atau keputusan pengadilan dapat tidak mencantumkan ketentuan huruf k ayat (1) Pasal 197 KUHAP. Artinya saya tidak wajib menjalani hukuman atau dengan istilah batal demi hukum. Jaksa harus patuh dan segera melakukan eksekusi membebaskan saya. Jadi tidak berarti lantas ketentuan ayat (2) Pasal 1967 KUHAP harus dibatalkan oleh MK karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Saya kira justeru disitulah hikmah prinsip Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab terkandung dalam ketentuan Pasal 197 huruf k ayat (1) dan ayat (2) ketika hakim membuat pertimbangan keputusannya.

Dengan Keputusan MK mengenai hal ini maka kedepan siapapun dia meski kondisi uzur sekalipun, karena terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana mencuri dua buah kakao harus menjalani masuk penjara. MasyAllah.

Khusus terhadap kasus yang disengketakan sehingga MK harus bersidang, manakala si terpidana segar bugar masih sehat wal afiat, tidak uzur, maka saya kira vonis yang tidak mencantumkan ketentuan huruf k ayat (1) pasal 197 KUHAP adalah murni kesalahan hakim. Konsekuensinya terpidana harus dibebaskan. Hakim yang memutuskan yang harus dikejar oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, mangapa hakim yang bersangkutan melakukan kesalahan fatal seperti itu.

Demikian pandangan awam saya. Terima kasih.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun