Dari perdebatan capres tadi malam, Jawab Pak Prabowo yang nampaknya berhati hati, berbicara dengan pendekatan makro. Berhati hati agar kedepan jika terpilih tidak terjebak oleh gagasanya sendiri yang ternyata kemudian belum ada atau undang undang yang ada tidak sesuai guna menjadi landasan hukum tindakannya. Karenanya harus mempertimbangan ketentuan perundangan berlaku. Sebab seorang Presiden bekerja melaksanakan hukum dan undang undang.
Jawaban makro agar tidak terjebak, suatu gagasan ternyata tidak dapat dilaksanakan karena belum ada landasan hukumnya, undang undang tidak sesuai dengan keinginan gagasan. Butuh waktu membuat atau revisi UU agar implementasi suatu gagasan punya landasann hukum. Musti ada legislasi dan proses politik di DPR. Ini bukan Republik Mimpi.
Contoh bagaimana mungkin melaksanakan gagasan dibidang pendidikan yang membutuhkan dana sebesar 40 triliun, butuh persetujuan rakyat melalui DPR RI. Apakah seluruh anggaran yang diusulkan akan dengan mudah begitu saja disetujui oleh DPR RI. Meskipun pemerintahannya dengan koalisi besar partai partai tetapi belum tentu pasti semua usul inisiatif UU Anggaran oleh pemerintah disepakati oleh DPR RI.
Belum lagi menyangkut pertahanan negara, terkait dengan kekuatan , strategi dan alat utama sistem persenjataan atau alutista militer. Disamping menghadapi dinamika politik dalam negeri dan terkait juga dengan anggarannya. Statement seorang capres tentang peningkatan kekuatan militer ini tentu akan membuat kalkulasi baru negara lain tetangga sekitar kita.
Begitu juga dengan gambaran sikap politik capres ini tentu berimplikasi terhadap kemungkinan perubahan kebijakan luar negeri seperti AS dan China. Kedua negera ini sangat peka terhadap perkembangan kawasan pasifik. Konflik yang terjadi di South China Sea hanya manover, "testing the water" untuk menkaji prospek politik dsan militer kedepan.
Sementara rakyat pemilih ada sebagian yang ingin suatu pernyataan yang “vulgar” jelas, terbuka langsung to the poin. Seperti gaya Capres Jokowi. Karena masih ada yang berangapan bahwa dalam era keterbukaan dan demokratisasi sekarang semuanya rakyat harus tahu. Jika capresnya berbicara tidak langsung toi the poin dianggap tidak cakap jadi presiden.
Aneh tapi nyata. Bagaimana mungkin seorang capres “sebelah” menyatakan bahwa anggaran militer kedepan adalah 90 triliun. Para pedagang senjata tentu tersenyum lebar menyaksikan perdebatan capres Indonesia. Potensi pasar yang terbuka.
Pak Jokowi berbicara dengan pendekatan mikro, ciri beliau, aplikasi teknis operasional. Apa yang beliau sampaikan adalah keinginan atau cita cita melaksanakan pekerjaan dengan tehnis operasionalnya begini - begitu. Ekspresi beliau yang khas adalah "Oh itu gampang sekali" lantas beliau jabarkan tehnisnya.
Permasalahannya, Presiden bekerja melaksanakan Undang undang. Manakala pelaksanaan tehnis operasional melanggar peraturan perundangan, implikasi resistensi politis akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas politik dan pemerintahan. Kecenderungannya adalah merevisi UU yang ada atau inisiatif UU baru agar sesuai dengan cita cita, kehendak, :keinginan teknis operasional beliau sebagai solusi.
Hal ini tentu tidak "gampang sekali" karena era sekarang adalah era demokratisasi. Inisiatif presiden belum tentu disepakati oleh DPR. Menerbitkan Kepres bisa digugat melalui mahkamah konstitusi. Contoh aktual, sekarang saja masalah Gubernur / pejabat negara harus mundur ketika maju sebagai capres sedang digugat di MK. Pengecualian pada pasal 7 UU Nomer 42 tyahun 2008 tentang Pilpres dalam hal mana Gubernur sebagai pejabat negara yang maju untkuk capres “cukup izin yang disetujui Presiden” dianggap melanggar hak konsitusional dan norma hukum kesetaraan didepan hukum, equal before the law”.
Jadi intinya langkah dan tindakan Presiden mempunyai resiko politik dengan segala implikasinya yang jauh lebih besar karena menyangkut kehidupan bangsa, negara dan seluruh tanah air Indonesia. Resiko yang jauh lebih besar ketimbang sebagai Gubernur DKI Jakarta. Misalnya pada pelaksanaan tehnis operasional yang berdampak hukum, seperti pada kasus bus berkarat transjakarta mungkin "gampang sekali" untuk ditepis sebagai tanggung jawab mutlak seorang Kepala Dinas Perhubungan, bukan tanggung jawab Gubernurnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H