Jakarta gelap total karena tidak ada listrik tentu akan berdampak sangat serius dan berantai pada seluruh kehidupan masyarakat. Selanjutnya Dirut PLN diganti, masuklah Dahlan Iskan atau Pak DI. Masalah byar pet Jakarta bisa diatasi dengan menggunakan gas sebagai pengganti BBM agar biaya pembangkit jadi lebih murah dan PLN bisa ekspansi membangun power plan baru untuk mengatasi kekurangan pasokan listerik nasional.
Tapi ini baru berupa konsep dan belum dapat dilaksanakan karena ternyata PLN dibawah Pak DI tidak juga berhasil mendapatkan jaminan pasokan gas dari PGN Perusahaan Gas Negara, dari dalam negeri. Pak DI cari gas sampai ke Iran, juga belum berhasil, sementara problem byar pet masih tetap byat pet. Keadaan kelistrikan semakin menjadi beban yang tidak mudah untuk menanggungnya. PLN seperti terjerat kabel listrik dilehernya. Mau mematikan listrik agar leher PLN bisa lepas dari belitan jerat sang kabel, namun akibatnya Jakarta bakal gelap total.
Kalau digambarkan dengan puisi barangkali seperti bait puisinya Chairil Anwar yang berjudul 1945 - Racun berada di reguk pertama. Membusuk rabu terasa di dada, Malam kelam membelam – Begitulah sang penyair menggambarkan kondisi buntu. Zaman revolusi memang listerik Anniem hanya untuk kompeni Belanda. Tentu kita tidak ingin kembali ke masa lalu dimana negeri ini masih negari seberang lautan, satu Negara yang disebut sebagai Hindia Belanda. Demikian intermezzo.
Lalu memotong kabel yang menjerat leher PLN tentu lebih patal akibatnya. listerik mati dan PLN pun mati pula tersengat diri sendiri. Pak DI ketika itu ibarat disuguhkan buah simalakama. Jadi, tidak punya pilihan kecuali kembali mengunakan BBM meski dengan biaya yang sangat besar akibat kewajiban memenuhi seluruh kebutuhan listerik nasional. Listerik sebagai hajat hidup rakyat Indonesia tidak pilih pilih dimanapun berada tidak cuma hanya Wilayah Jakarta saja. Bagaimana langkah kebijakannya dan apapun resikonya, listerik sejatinya tidak lagi menjadi keluhan rakyat. Pak DI pancen oye…
Belakangan muncul permasalahan yang kemudian mencuat perdebatan kontra produktif. Kalau tidak salah, asal muasalnya adalah statemen dari BPK yaitu adanya temuan inefisiensi tiga puluh sekian triliun di PLN. Pak DI justeru menegaskan bahwa inefiseinsi bisa mencapai seratus triliun ( maaf angka nolnya ada ada berapa ya ). Lalu muncul reaksi melalui publikasi statemen bahwa ada oknum tukang palak dari DPR. Kontra isu ini seperti ingin memberi kesan bahwa mengapa ada temuan inefisiensi? Penyebabnya karena BUMN jadi bancakan tukang palak.
Menurut saya, jika terjadi inefisiensi maka implikasinya adalah kerugian negara. Jadi inefisiensi lebih dekat kepada mismanajemen berdasarkan parimeter pengelolaan keuangan BUMN. Konsekuensi logisnya adalah harus ada tindakan terhadap pelakunya.
Pada sisi lain, tukang palak adalah tukang palak siapapun dia harus ditindak. Tukang palak adalah kriminal murni, tidak pilih pilih yang dipalaknya baik perorangan, badan hukum swasta atau BUMN. Siapapun yang melakukan tindakan inefisiensi keuangan negara harus ditindak. Jadi kedua duanya harus ditindak, jangan cuma jadi konsumsi talk show, cuma bikin kegaduhan kontra produktif dan memberi kesan kita semuanya pada o’on.
Nah kecuali memang ada skenario bikin kegaduhan untuk mengalihkan perhatian publik….tak tahulah aku. Ocehan habis sampai disini.*****
SOLUSI ABU JAHAL.
Inilah ocehan lainnya. Konon di negeri gurun jazirah tanah Hejaz, pernah terjadi kecelakan aneh ketika dua orang arab sedang berlatih ketangkasan main pedang. Tidak seperti di negeri Sakura jika berlatih tidak menggunakan katana tapi cukup dengan pedang dari kayu saja. Di tanah arab orang berlatih menggunakan pedang baja asli. Kejadian sangat aneh ketika mereka berlatih tiba tiba pedang baja ini melunak seperti tali serat rosella dan membelit leher kedua pemuda arab tersebut.
Entah kutukan atau apapun istilahnya, setelah pedang “terbelit dileher mereka” maka seketika itu juga pedang kembali mengeras menjadi baja. Tidak seorangpun pakar dan orang berilmu di tanah arab yang mampu melepaskan pedang yang sangat tajam itu. Sedikit saja tergesek maka urat leher pasti putus. Para pakar dan tokoh berunding siapa gerangan tempat mereka bertanya menyelesai kasus “ terbelit pedang” ini.
Akhirnya mereka bersepakat mendatangi orang paling pintar yaitu Abu Sofyan namanya. Belum sempat masuk ke rumahnya, Abu Sofyan sudah mengatakan bahwa ia sudah memahami apa permasalahan, mengetahui problem dan apa solsusinya. Betapa senangnya mereka karena meyakini bahwa memang tepat Abu Sofyan orangnya yang mampu menyelesaikan problem mereka.
Apa jawaban Abu Sofyan dan bagaimana solusi yang diberikan. Bahkan tidak memerlukan bertemu dengan orang orang Badui itu Abu Sofyan memberikan “solusi” cukup berteriak saja dari dalam rumahnya.
“Bawa kedua pedang itu ketungku puputan pandai besi, bakarlah dan jika baja pedang itu sudah merah terbakar pastilah pedang yang terbelit akan lemas dan bisa dilepaskan”.
Sejak itulah Abu Sofyan berubah namanya menjadi Abu Jahal…….
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H