Tukang palak adalah tukang palak berbeda perilakunya dengan pemungut sumbangan bersifat sukarela, tukang palak pasang muka serem mengekspresikan kesan memaksa. Secara umum dipahami bahwa tukang palak pengertiannya lebih dekat ke premanisme. Dimana ada kesempitan disitu ada kesempatan untuk menyertakan kepentingan. Di perkotaan, kehadiran tukang palak sangat terkait dengan situasi keamanan dan kepentingan mendesak. Sketsa sosial menggambarkan wilayah operasinya terkait dengan lorong atau gang sempit yang membutuhkan “pengaturan kepentingan bersama”. Jadi kalau mau jualan di gang atau lorong sempit harus berpandai pandailah dan pengertian.
Bagi yang sudah tau sama ngerti maka iuran keamanan berlaku regular. Kalau sudah tau sama ngerti maka istilah tukang palak tidak berlaku, adanya “biasa keamanan he he” demi kepentingan bersama. Tapi bagi mereka yang mangkir bayar uang keamanan, ogah ogahan, belagu, sok berani, jangan menyesal kalau terkena “ilmu palak” Begitulah gambaran umum realita sosial di kota besar maupun kota kecil. Di Metropolitan Jakarta tentu lebih banyak lagi ragam modus premanisme dengan ceritera yang lebih seru.
Bagaimana dengan di daerah luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan. Saya kira tidak jauh berbeda, yaa beda beda tipislah tapi secara umum sama saja alias sami mawon. Cuma wilayah dan modus operandi ragamnya berbeda. Kalimantan yang infrastrukturnya masih mengandalkan sungai mempunyai trafik pelayaran yang ramai dan padat jauh sampai keudik sungai, bisa mencapai 1000 kilometer. Sungai Mahakam di Kalimantan Timur, Sungai Barito di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Sungai Kahayan dan Sungai Mentaya di Kalteng, Sungai Kapuas di Kalimantan Barat bahkan mencapai wilayah Propinsi Kalimantan Utara yang ibukotanya bernama Tanjung Selor.
Ringkas kata sungai adalah urat nadi perekonomian rakyat. Bahkan komoditas pertambangan mineral dan batubara menjadi andalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Kapal tunda ( tug boat ) dan tongkang ( barge ) berlayar diperairan pedalaman mengangkut batubara seperti gunung yang berjalan di sungai. Suatu gambaran adanya geliat modernisasi kegiatan ekonomi yang dimotori oleh para investor perusahaan kelas dunia. Sementara sebagian besar rakyat kehidupan ekomoni masih bertumpu pada kondisi lokal tradisional terbatas.
Kesenjangan tak terelakan dan tak terbantahkan. Pada sisi kelabu, kesenjangan ini menumbuhkan perilaku sosial yang mungkin bisa disebut juga sebagai premanisme tukang palak. Mereka mencegat kapal tongkang pengangkut batubara untuk dimintai "sumbangan community development". Dalam skala operasional, setiap kapal “wajib” bayar uang keamanan. Jika transakasinya berupa duit maka konotasinya adalah uang preman tukang palak. Jadilah transaksinya berupa satu jeriken 40 liter solar untuk sekali lewat pada setiap titik “rawan” pelayaran. Ada cara yang lebih halus, mereka menyambangi kapal tongkang batu bara dengan membawa seekor ayam untuk ditukar dengan satu jeriken solar. Rata rata para kapten kapal mengucurkan sekitar 1,2 ton minyak solar untuk sekali pelayaran. Jadi dimana ada kesempitan disitu ada kesempatam.
Lain lagi ceriteranya diwilayah dalam kawasan hutan dimana terdapat tambang batubara, bijih besi dan mineral lainnya. Praktek tukang palak dengan cara jauh lebih bergengsi, terkadang tampil seperti layaknya penguasaha. Atau tokoh berpengaruh karena sering menyumbang kegiatan sosial masyarakat, sumbangan dalam jumlah seberapa banyak kekurangan akan ditomboki hanya dengan satu kata....beres.
Sebagaimana diatur dengan UU Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, seluruh kegiatan penambangan dalam wilayah hutan hanya dapat dilakuan jika sudah mendapat persetujuan “pinjam pakai kawasan hutan” oleh Menteri Kehutanan. Dokumen yang disebut Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan merupakan prasyarat mutlak jika ingin melakukan kegiatan penambangan, sejak penyelidikan umum, survey eksplorasi. ekspoitasi sampai tahap produksi. Jika tidak ada ijin berarti bisa masuk dalam kategore tindak pidana terkait pula dengan tindak pidana lingkungan. Tanah dalam kawasan hutan adalah tanah Negara.
Namun jika ditelusuri dengan teliti dalam kawasan hutan diseluruh nusantara ini ada kepemilikan dengan bukti tertulis berupa Surat Keterangan Penguasaan Tanah ( SKKT). Realitas ini bukan rahasia lagi di Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki otoritas penerbitan surat sertifikat atas tanah yang sah. Tentu ada bos yang menjadi sponsor mendorong masyarakat setempat untuk membuat SKKT meskipun memahami bahwa tanah didalam kawasan hutan adalah tanah Negara. Setelah seseorang sukses membuat dokumen tertulis tersebut maka SKKT kemudian dibeli oleh “Bos” secara diam diam dibawah tangan. Jadi "kepemilikanya" masih atas nama warga namun tetap dibawah kendali, dibawah kontrol si bos.
Untuk apa mensponsori membuat SKKT didalam kawasan hutan? Jelas tujuannya adalah penguasaan wilayah dimana didalam buminya terdapat batubara. Jadi siapa saja yang meski memiliki Surat Ijin Kuasa Pertambangan” harus berurusan atau negosiasi terlebih dahulu dengan warga pemilik tanah”. Perusahaan pertambangan yang secara legal sudah mengantongi ijin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan sekalipun tidak dapat berkutik.
“ Lu punya ijin tambang atas batu bara yang sah tapi didalam perut bumi, faktanya tanah diatasnya punya masyarakat, jadi lu jangan sembarangan, bisa runyam urusannya didemo masyarakat”, si bos memang lihai nego dan menjamin keamanan bagi operasi penambangan dalam wilayah kekuasaannya. Dimana ada kesempitan disitu ada kesempatan. Palak memalak tergantung kesepakatan.
Saya coba membayangkan bagaimana jika pada pemilu atau pilkada si bos yang sudah kaya raya dari bisnis tanah itu berhasil terpilih karena banyak duitnya. Jadilah si Bos sang tokoh kita ini bupati, gubernur dan mungkin saja sekarang sedang menikmati karir terhormat sebagai anggota DPR RI….