Mohon tunggu...
Syamsuddin B. Usup
Syamsuddin B. Usup Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kakek dari sebelas cucu tambah satu buyut. Berharap ikut serta membangun kembali rasa percaya diri masyarakat, membangun kembali pengertian saling memahami, saling percaya satu sama lain. Karena dengan cara itu kita membangun cinta kasih, membentuk keindahan hidup memaknai demokrasi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemenangan Mayoritas Hasanuddin Murad di Barito Kuala dan Phenomena Jokowi

5 November 2012   05:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:57 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_221607" align="alignleft" width="300" caption="Terpilih dengan dukungan 82% suara, Hasanuddin Murad, SH dan Makmun Kaderi, SE dilantik sebagai Bupati/Wkl.Bupati Kab. Barito Kuala - di Kota Marabahan Kalimantan Selatan ( Dokpri: Wahyu/Syam Jr)"][/caption] Minggu, 4 Nopember 2012. Kemaren saya menghadiri undangan acara pelantikan Hasanuddin Murad, SH dan Makmun Kaderi, SE sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Barito Kuala di kota Marabahan, Provinsi Kalimantan Selatan. Inilah untuk pertama kalinya saya mengikuti acara protokoler jabatan pemerintahan yang sebelumnya saya tidak tertarik untuk menghadiri acara semacam ini. Sebagai orang dagang tadinya bagi saya terasa aneh menghadiri acara “kaum birokrat”. Dengan dukungan politik sebegitu besarnya mungkin akan muncul prospek usaha yang berbeda. Jadi apa salahnya ikut nimbrung mumpung diundang oleh panitia. Kali ini saya tertarik karena kedua figure ini terpilih dalam Pilkada dengan dukungan mencapai 82% suara rakyat Barito Kuala. Angka dukungan ini kalau tidak salah berada pada posisi kedua setelah Jokowi-Hadi yang mendapat 92% dukungan politik rakyat Kota Solo. Fakta ini merupakan phenomena yang patut menjadi perhatian karena mungkin saja menjadi pertanda adanya perubahan perilaku politik di republik ini. Dukungan yang sedemikian besar ini bahkan melebihi tingkat dukungan pada masa Orde Baru yang dalam tanda petik era pemerintahan otoriter. Meskipun pilkada ketika itu dengan system yang berbeda yaitu oleh anggota DPRD Kabupaten/Kota. Persentasi maksimum yang pernah dicapai hanya 76% yaitu terpilihnya Kolonel Daeng Pattompo sebagai Walikota Ujung Pandang ( Makassar ). Proses pemilihan dilakukan oleh DPRD, bukan secara langsung oleh rakyat seperti sekarang ini. Pada masa Orde Baru kitapun maklum dan tidak aneh dengan dukungan yang begitu tinggi pada proses pemilihan kepala daerah. Karena system politik dengan tiga partai yaitu PDI, Golkar dan Partai Persdatuan Pembangunan ( PPP ) ketika itu dikenal istililah single majority atau mayoritas tunggal oleh dominasi Golongan Karya. Namun tetap saja dua sayap oposisi Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan menjadi gambaran ada warna politik yang berbeda sebagai prasyarat kehidupan demokrasi. Masih ada kehidupan demokratis. Kendati demikian terhadap system demokrasi Pancasila tidak luput dari kritik bahwa system demokrasi yang dianut pada era Orde Baru adalah anti demokrasi. Dengan gambaran angka dukungan maksimum mencapai 76% atau single majority diangap keluar dari prinsip chek and balance karena posisis politik Dewan Perwakiloan Rakyat menjadi lemah dan bias menjadi tuklang stempel kebijakan pemerintah. Sistem Demokrasi Pancasila bahkan dicap sebagai system otoriter. Sekarang pada era reformasi ini pemilihan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat dimana Jokowi-Hadi terpilih dengan 92%, lantas sekarang adalagi Hasanuddin Murad, SH – Makmun Kaderi, SE dengan 82%. Kecenderungan kedepan bisa saja terjadi dalam hal mana bupati , walikota, gubernur bahkan presiden akan terpilih dengan dukungan lebih besar dibanding dengan single majority pada era Orde Baru. Fakta hasil Pemilu 2004 SBY-Budiono yng terpilih secara langsung dengan dukungan politik sebesar 62% suara rakyat. Secara politik saat ini sesungguhnya Dewan Perwakilan Rakyat pada posisi yang lemah. Secara politik, kebijakan Presiden dimungkinkan untuk mengesampingkan suara DPR jika tidak melebihi 62% total suara anggota DPR. Perilaku legislatif sekarang nampak seperti mejadi “sok berkuasa” hanya karena SBY-Budiono terlampau toleran untuk mengimbangi perilaku DPR. SBY-Budiono tidak memperkuat diri dengan menggunakan dukungan politik mayoritas rakyat yang diperolehnya secara demokratis melalui pemilu dalam Sistem demokrasi sekarang yang katanya suara rakyat adalah suara tuhan. Mungkin presiden SBY khawatir dituding sebagai pemerintah otoriter diktator mayoritas. Namun bisa saja terjadi, dengan fakta terpilihnya Jokowi di Solo dan Hasanuddin Murad di Barito Kuala yang berhasil mengantongi dukungan politik sangat kuat akan menular keseluruh wilayah Republik Indonesia. Apakah phenomena ini berarti kembali ke single majority atau kekuasaan mayoritas tunggal dimana Legislatif hanya sebagai tukang stempel kebijakan Eksekutif atau bahkan cenderung menjadi diktator mayoritas?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun