Mohon tunggu...
Syamsuddin B. Usup
Syamsuddin B. Usup Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kakek dari sebelas cucu tambah satu buyut. Berharap ikut serta membangun kembali rasa percaya diri masyarakat, membangun kembali pengertian saling memahami, saling percaya satu sama lain. Karena dengan cara itu kita membangun cinta kasih, membentuk keindahan hidup memaknai demokrasi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lembu Bodong IV.

24 November 2010   17:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:20 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Byurbruss………….byurbreess…….

Cingil terjun ke laut dan pada saat bersamaan dia melemparkan batu pemberat dalam keranjang bertali yang yang ujungnya terikat ke tangga monyet di geladak perahu. Batu pemberat sebagai alat duga kedalaman laut. Tentulah dua ‘benda’ yang jatuh bersamaan kepermukaan laut menimbulkan dua pusat gelombang.

Ketika dua gelombang bertemu, menampakkan struktur interferensi. Wujud interferensi itu dapat terlihat dengan jelas dari perahu layar bertiang satu Prabayaksa. Sedemikian tenangnya permukaan laut laksana cermin raksasa diliputi suasana magis kesaktian Naga Mura Patimaya.

VII.

Struktur interferensi gelombang yang tergambar di permukaan laut membuat keempat Patih dan semua orang yang diatas dek terkagum kagum namun segera berubah menjadi kecemasan dan suasana tegang. Sudahdua batang rokok kretek lintingan terbakar habis, Cingil belum juga muncul kepermukaan.

Ketegangan semakin nyata ketika dalam posisi berhadapan, sorot tajam mata Patih Pambalah Batung menancap ke batang hidung nakhoda utama Patih Panimba Segara. Setengah membentak dan keras nada bicaranya:

Pembantu pribadimu menceburkan diri kelaut, anda yang memerintah dia ? Tentu dia mati sia sia dimakan Naga Mura Patimaya. Semestinya anda sudah paham bahwa tidak ada korban sesiapapun, kecuali dengan perintahku Patih Pembalah Batung. Anda menetang kebijaksanaanku saudara nakhoda.

Belum sempat bibir berucap, Patih Panimba Segara melihat gerakan tangan Patih Pambalah Batung kearah gagang pistol bersalut perak yang terselip disisi kiri perut gendutnya. Melihat gelagat yang bermusuhan itu, Patih Panimba Segara juga siap dengan pisau lempar bergerigi seperti pisau Rambo.

Pada perhitungan saya, jika terjadi duel bersenjata antar kedua patih itu, Patih Panimba Segara akan lebih unggul. Tangan kiri dan kanannya sama cepat dan sangat trampil dalam melempar pisau hanya dalam satu gerakan. Tangan kanan melempar pisau Rambo ke arah mata, sementara tangan kiri mengarah ke urat nadi leher dibawah rahang lawannya. Kedua tangan Patih Panimba Segara, saling dukung menghasilkan serangan mematikan.

Sebaliknya meskipun Patih Pambalah Batung ahli dengan pistolnya, namun dia membutuhkan tiga gerakan. Pertama menarik pistol dari pinggangnya, Gerakan kedua merentang lengan untuk membidik dan setelah bidikan tepat ke jantung lawan barulah jarinya menarik trigger pistol bergagang lapis perak itu.

Tetapi, ketika lemparan pisau Patih Panimba Segara mengarah ke matanya, tentulah dia bergerak menggeleng ke kiri atau ke kanan. Gerakan mengeleng itu berarti dia tidak bisa membidik, sedangkan temponya hanya dalam sepersekian detik saja. Patih Pambalah Batung akan roboh dengan urat lehernya terpotong sebelum pistol nya menyalak.

VIII.

Beruntunglah kedua patih yang lainnya bergerak cepat menutup ruang diantara mereka. Patih Garuntung Waluh ke depan Patih Pambalah Batung. Sedangkan Patih Garuntung Manau ke depan Patih Panimba Segara. Sepertinya mereka melerai pertikaian itu, tetapi jelas pula bahwa keduanya sebenarnya berpihak satu sama lain.

Saudara Patih Garuntung Manau, saya perintahkan anda berdiri dibelakang saya, jika tidak berarti anda berkomplot dengan Panimba Segara untuk menentang saya.

Patih Garuntung Manau terkesiap dan akan bereaksi, karena mendapatkan dirinya langsung dibawah ancaman Patih Pambalah Batung.

Pada detik detik sangat berbahaya itu, tiba tida terdengar teriakan suara berat dan sangat tegas;

Jenderal !!!....

Semua yang ada di geladak tersentak dari suasana tegang, tak terkecuali keempat patih tadi.

…………kalian tidak memberikan teladan perilaku pemimpin nan perwira, seharusnya kita bersatu menghadapi musibah ini, tapi sebaliknya kalian bertengkar. Kalian pemimpin yang memalukan, bukannya berembuk tapi malah bertengkar.

Suara siapakah gerangan yang mampu menghentikan situasi kritis antara jenderal diatas geladak Prabayaksa. Mereka tidak menoleh ke sosok pembicara karena terlalu kenal dengan pemilik suara itu. Semuanya diam bagaikan waktu yang terhenti…..

***

( Kompasianer yang berminat memahami interferensi gelombang silahkan klik disini : Terjemahan Bab Ketiga The Grand Design What is Reality ( full Version ) Posting dari sdr. Eko Hariyanto )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun