[caption id="attachment_87150" align="alignright" width="298" caption="SBY/Admin (Kompas)"][/caption]
Logika politik pidato Presiden SBY pasca Keputusan Rapat Paripurna DPR RI seakan menegaskan bahwa sikap presiden adalah sikap 60,8% rakyat Indonesia (dukungan rakyat hasil pada pilpres 2009). Dengan cara demikian maka logikanya mengesampingkan keputusan sikap politik DPR. Melalui pidato tersebut terkesan ingin membangun dan menegaskan bahwa legitimasi politik presiden lebih kuat dari parlemen.
Satu hal yang nampaknya terlupakan bahwa keputusan DPR RI adalah representasi sikap politik rakyat.Karena DPR juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Quorum rapat pleno dengan total 537 suara adalah representasi 100% suara rakyat. Jika pada rapat paripurna DPR RI pada 3 Maret lalu dengan komposisi 212 ( 39.5%) opsi A melawan 325 ( 60,5%) suara pada opsi C maka apa yang diputuskan DPR mempunya niai legitimasi politik sebesar 60,5% suara rakyat.
Pidato Preiden seakan menegaskan bahwa opsi A dengan 212 suara (39,5%) di DPR ditambahkan dengan kekuatan dukungan 60,8% (hasil pilpres 2009) sebagai gambaran kekuatan legitimasi politik pemerintahan SBY-Budiono. Jika logika politik semacam ini yang ingin disampaikan dengan pidato tersebut maka nilai legitimasi politiknya menjadi false sebab 39,5% ditambah 60,8% adalah 103% tentu menjadi mustahil adanya.
Dalam posisi setara dimana Pemerintah SBY-Budiono ( dipilih melalui Pilpres 2009 ) pada satu sisi dengan DPR ( dipilih melalui Pileg 2008 ) pada sisi lain maka legitimasi politik yang dipunyai pemerintah adalah 60,8% berbanding legitimasi politik yang dimiliki parlemen dengan 60,5%. Pemerintahan SBY-Budiono hanya unggul 0,3% atas parlemen, suatu nilai legitimasi politik yang tidak memadai untuk meneruskan pemerintahan.
Pemerintahan SBY-Budiono harus memperkuat legitimasi politiknya untuk dapat meneruskan dan menjamin stabilitas pemerintahan. Pemerintah SBY-Budiono agaknya tidak mempunyai pilihan lain kecuali mendorong agar parlemen menggunakan hak menyatakan pendapat dan mengajukan keputusan ’opsi C” tersebut untuk diuji melalui pengadilan Mahkamah Konstitusi. Jika keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kebijakan pemerntah mempunyai dasar hukum, maka seluruh argumentasi dari ‘opsi C’ akan runtuh, pemerintahan SBY-Budiono kembali tegak dengan legitimasi politik yang kokoh.
Opsi C yang menyatakan terdapat adanya pelanggaran hukum dalam kebijakan bail out BC bermakna bahwa pemerintahan diselenggarakan tidak sesuai dengan amanah UUD 1945 yang mewajibkan bahwa pemerintahan dijalankan berdasarkan hukum bukan atas dasar kekuasaan , tidak terkecuali dalam keadaan krisis sekalipun. Keputusan rapat paripurna DPR yang menetapkan ‘opsi C’ merupakan tuduhan serius terhadap pemerintah. Sementara itu, Prsiden SBY sendiri telah menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kebijakan bail out BC tersebut.
Sebaliknya jika pengadilan oleh Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tuduhan ‘opsi C’ dapat dibuktikan, memang benar telah terjadi pelanggaran hukum dalam kebijakan bail out BC. Maka mengundurkan diri adalah pilihan bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H