Mohon tunggu...
Syamsuddin B. Usup
Syamsuddin B. Usup Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kakek dari sebelas cucu tambah satu buyut. Berharap ikut serta membangun kembali rasa percaya diri masyarakat, membangun kembali pengertian saling memahami, saling percaya satu sama lain. Karena dengan cara itu kita membangun cinta kasih, membentuk keindahan hidup memaknai demokrasi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Money

Hutan: Posisi Tawar Strategis Indonesia di COP 15 Kopenhagen

9 November 2009   13:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:24 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Protocol Kyoto yang melahirkan skema carbon trade yang diratifikasi Indonesia pada 2004 akan berakhir pada 2012. Selanjutnya komitmen yang barkaitan dengan pemanasan global tersebut akan diperbaharui pada pertemuan medio Desember 2009 di Kopenhagen, Denmark.Indonesia akan berperan aktif setelah Presiden Susilo Bambang Yodhoyono pada Pertemuan G20 di Pitsburg, USA mengusulkan agar negara maju wajib menurunkan tingkat emisi kilang industry mereka. Indonesia yang memiliki hutan tropika basah mempunyai posisi tawar strategis dalam peta politik ekonomi global pada Conference of the Parties (COP) 15 di Kopenhagen.

Dalam kaitan ini saya berpendapat, tidak cukup hanya dengan tuntutan penurunan emisi, tetapi saya cenderung mengusulkan gerakan menghutankan kembali seluruh kota didunia. Bahwa kota metropolitan dengan berbagai kegiatannya mengasilkan polutan berupa emisi carbondioksida inilah yang menjadi penyebab utama pemanasan global, ini logika saya. Karena itulah setidaknya antara 40% sampai 50% dari kontribusi emisi carbon dikonversi menjadi berapa luasan hutan dipersyaratkanh atas kota tersebut. Berati ini program secara bertahap sampai terjadi keseimbanganantara emisi carbon dengan luasan hutan kota yang wajib diwujudkan dalam kerangka mengatasi pemanasan global.

Frame work protocol Kyoto, mendudukan hutan tropis sebagai wilayah konservasi carbohydrate. Plasma nutfah yang ada dihutan membutuhkan karbohidrate karena ia adalah mahluk yang bergerak memproses pelapukan. Adalah fakta bahwa hutan tidak akan mengalami pelapukanjika tidak terdapat plasma nutfah. Hutan tidak secara otomatis menghasilkan H2O guna menyerap carbon dioksida jika miskin plasma nutfah. Dalam kerangka inilah Negara yang memiliki hutan djadikan wilayah konservasi karbohidrate, sementara daerah perkotaan tertama Negara industry maju dengan bebas melepas emisi carbondioksida.

Sebagaimana kita ketahui,bahkannegara industry maju seperti Amerika Serikat menolak protocol Kyoto yang mewajibkan konpensasi atas setiap hektar hutan atau skema carbon trade. Suatu skema yang disebut sebagai Reducing Emission from Deforestation dan Degradation (REDD) in Developing Countries, Inilah inti protocol Kyoto yang saya tentang karena sangat tidak adil terhadap masyarakat berbagai wilayah pedalaman di Indonesia.

Dengan skema REDD maka berbagai daerah di luar pulau Jawa sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengembangkan industry diwilayahnya demi tersedianya lapangan kerja baru, terhambat oleh aturan protektif sumber daya hutan dalam kerangka REDD tadi. Gerakan pengendalian lingkungan sejatinya memberikan kemudahan pembangunan industry agar masyarakat dapat alokasi pekerjaan baru, berpindah dari pekerjaan lama menggarap sumber daya hutan.

Menurut saya skema REDD merupakan cara kerja pemiskinan sistematis terhadap masyarakat pedalaman. Produktifitas masyarakat pedalaman negeri ini melemah karena aturan protektif deforestrasi dan pada akhirnya hanya jadi menerima santunan BLT karena adanya pendapatan negara dari konpensasi carbon trade.

Sementara itu Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties (COP) 15 di Kopenhagen, Denmark pada 7-18 Desember mendatang,  diragukan bisa  mencapai kesepakatan baru. Seperti diketahui bahwa penyebab terganjalnya kesepakatan baru tersebut adalah sikap Negara industry maju yang bertahan menolak mereduksi, menurunkan emisi carbon yang ditebarkan kilang industry mereka. Indonesia dan negara berkembang lainnya ditekan dengan skema REDD, hal ini berarti jalan buntu. Pada pertemuan pendahuluan di Barcelona kelompok negara berkembang melakukan walk out sehingga tidak ada rumusan yang dihasilkan bagi COP 15 Kopenhagen.
Dalam posisi begini saya usulkan agar pada COP 15 di Kopenhagen, Denmark kita  keluar dari kerangka protocol Kyoto untuk bisa bebas menggarap sumber daya hutan demi kemakmuran rakyat kita sendiri. Biarkan Negara industry maju mengembalikan hutan mereka sendiri. Kita menolak menjadi penyangga kegiatan industri  negara maju untuk kepentingan kemakmuran mereka. Dalam kaitan pemanasan global, maka hutan negeri ini kita jadikan bargaining power sebagai penyeimbang peta politik perekonomian global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun