Keinginan Ahoh adalah E-Budgeting melawan keinginan Haji Lulung Cs "hasil Pembahasan" bersama DPRD. Meskipun E-Budgeting tidak mempunyai dasar hukum, demi perubahan dan anti korupsi Ahok ngotot tetap pada APBD E-Budgeting. Sementara Haji Lulung dan teman teman di DPRD juga ngotot dengan alasan berdasarkan hukum, peraturan perundangan. Masalah ini menjadi ribet ketika masuk ruang publik dengan bahasa prokem.
Ada sesuatu yang menarik pasca mediasi kasus Gubernur Ahok vs DPRD DKI Jakarta oleh Kemendagri. Jika terjadi “deadlock” maka APBD 2015 akan menggunakan APBD 2014 berdasarkan Peraturan Gubernur DKI bukan dengan Perda. Mungkin Pergub DKI sebanding dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang atau Perppu jika pada tingkat Pemerintahan Pusat. Cara ini bisa jadi membuat "efek jera" bagi DPRD agar "tidak macam macam" terhadap kebijakan Gubernurnya.
Pasca Reformasi 1998 kekuatan politik bergeser dari kekuatan eksekutif ke DPR. Pergeseran tersebut didukung rakyat karena pada era Orba kekuasaan eksekutif terlampau berlebihan sementara posisi rakyat melalui lembaga legislating DPR RI hanya sebagai cap stempel saja pada semua kebijakan pemerintah. Stigma sebagai “Cap Stempel” melekat pada DPR. Reformasi 98 bergerak dan hegemoni Orba jatuh para pemimpinnya lengser keprabon.
Akan tetapi eporia kekuasaan legislative pasca Reformasi 1998 ternyata memunculkan kondisi kehidupan bernegara yang lebih buruk dan lebih fatal. Korupsi ternyata semakin marak. KPK bergerak menangkapi ratusan pemimpin daerah, Gubernur, Walikota, Bupati berama kolaburator sekondannya anggota dewan terjerat korupsi. Fakta ini menunjukkan kegagalan rezim reformasi mewujudkan pemerintahan yang bersih Good Government Governance sebagaimana dicanangkan para pemimpin gerakan reformasi.
Munculnya figure “bersih” seperti Joko Widodo dan Ahok mendapatkan empati dan simpati rakyat untuk maju memimpin. Berbagai tindakan dan kebijakan mereka segera saja mendapat dukungan tweeper dengan kicauan yang bahkan katanya mendunia. Kejujuran menjadi buah bibir dan “roh” politik yang memicu sikap dan bahkan cenderung emosional. Kondisi psikologis ini bahkan merasuk secara individual – sikap pribadi berdasarkan prasangka buruk, sudzon menjadi jadi. Seolah olah “hanya saya yang jujur yang lain maling semua”.
Kebenaran dan hukum ditegakkan melalui pembentukan pendapat umum – opini public – bukan dengan system peradilan. Mereka yang diajukan ke pengadilan “wajib di vonis bersalah”. Jika hakim menjatuhkan vonis yang tidak searah dengan opini public, dikomentari sebagai vonis yang tidak berpihak kepada keadilan masyarakat. Selanjutnya hakim ybs akan di bully sebagai hakim korup. Ruang mahkamah pengadilan berpindah dari ranah hukum ke ranah opini.
Kiranya pada kondisi semacam itulah tergambar bagaimana kasus Ahok vs DPRD DKI. Ahok segera berubah seperti terobsesi menjadi tokoh yang keputusannya laksana Bao Zheng atau Bao Gong atau pemimpin dengan keputusan yang selalu benar – Hakim Bao atau Judge Bao. Persepsi ini telah terbentuk dalam benak dalam pandangan pemikiran.
Ungkapan Ahok sendiri mencitrakan Judge Bao yang pantang mundur. ”Saya mati sekalipun tidak apa apa”. “Dipecat sekalipun saya tetap tidak akan kompromi”. “Biar saya dipecat pokoknya yang penting 12,1 triliun tidak masuk APBD”.
Keteguhan Ahok memang patut diacungi satu jempol. Satu jempol lagi simpan dulu dibalik punggung, tunggu hasil akhirnya kaya apa. Tapi sebagaimana ditulis pada awa;l artikel ini, setidaknya tindakan dan kebijakan Gubernur Ahok tentu akan berpengaruh, membuat efek jera para anggota DPRD DKI Jakarta untuk tidak macam macam terhadap gubernurnya.
Namun pada sisi lain, kedepan mungkin DPRD akan kembali kepada stigma lama yaitu hanya sebagai "cap stempel" kebijakan Gubernur. Sama halnya seperti yang terjadi di DPR RI yang lebih dahulu kembali ke posisi sebagai "cap stempel" ketika dengan cepat memberikan persetujuan atas usulan Presiden Joko Widodo yang mengajukan calon tunggal Kapolri Komjen Budhi Gunawan.
he he he....revolusi mental