Mohon tunggu...
Syamsuddin B. Usup
Syamsuddin B. Usup Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kakek dari sebelas cucu tambah satu buyut. Berharap ikut serta membangun kembali rasa percaya diri masyarakat, membangun kembali pengertian saling memahami, saling percaya satu sama lain. Karena dengan cara itu kita membangun cinta kasih, membentuk keindahan hidup memaknai demokrasi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sikap Anggota Fraksi Demokrat Bisa Berbeda dengan SBY

20 September 2014   03:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:10 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sikap politik SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat dalam konteks RUU Pilkada adalah setuju dengan pemilihan langsung. Pernyataan yang oleh sebagian orang menyebutnya sebagai “kejutan”. Tetapi tunggu dulu, politik tidak pernah berakhir pada titik tetapi selalu koma. Perubahan bisa saja terjadi hingga the last minute.

BAB VI Undang Undang Dasar 1945 tentang PEMERINTAHAN DAERAH yaitu pada Pasal 18 menyebutkan pada ayat (4) bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Logis kalau pengertian “secara demokratis” berarti dipilih secara langsung.

Sikap SBY tentu saja adalah sikap Partai Demokrat. Meskipun sebelumnya, melalui berbagai pernyataan para petinggi PD misalnya bung Max Sopacua, Ramadhan Pohan maupun Ketua Fraksi PD di DPR RI Nurhayati Assegaf bahwa sikap Partai Demokrat sejalan dengan sikap Koalisi Merah Putih yaitu Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) melalui DPRD. Sikap politik seseorang maupun sikap partai memang selalu dinamis. Sikap politik seseorang bahkan sikap partai politik sekalipun akan berubah ubah hingga last minute.

Sebagaimana ketika Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakri menyatakan sikap partainya solid mendukung Prabowo – Hatta. Tetapi era reformasi dan kebebasan, memberi peluang kader partai untuk menentukan pilihannya sendiri. Terbukti sejumlah elit kader muda Partai Golkar dengan alasan kebebasan, lantas hengkang dari Partai Golkar untuk mendukung dan ikut dalam pemenangan Jokowi – JK pada Pilpres 9 Juli 2014. Sikap politik yang “sah sah saja” pada era reformasi.

Semangat reformasi menjiwai mereka untuk bebas menentukan pilihan sikap politiknya. Hal serupa dan bukan mustahil jika dari 150 anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat akan menentukan pilihan yang berlawanan dengan sikap politik ketua umumnya. Sah sah saja.

Bandingkan kekuatan koalisi PDIP dengan 95 kursi, PKB 27 kursi plus Hanura 18 kursi, total 140 kursi yang mendukung Pilkada Langsung. Total kekuatan KMP adalah 270 kursi. Jika 150 anggota Fraksi Partai Demokrat gabung dengan KMP total kekuatan mencapai 420 kursi. Secara rasional kekuatan 420 kursi memenangkan Pilkada melalui  DPRD akan menjadi Undang Undang jika keputusan final pada 25 September 2014 dilakukan dengan voting tertutup.

Pernyataan sikap politik Ketua Umum Partai Demokrat nampaknya akan merubah peta kekuatan politik di DPR RI menjadi 290 mendukung pemilihan kepada daerah secara langsung berbanding 270 suara Pilkada melalui DPRD dari Koalisi Merah Putih.

Sebagaimana pada artikel sebelumnya : Jalan Tengah Kontroversi RUU Pilkada


"…terbuka kemungkinan ada suara anggota DPR RI Koalisi Merah Putih masih bisa “dibeli” sehingga sejumlah suara akan membelot dari sikap politik koalisi Merah Putih. Praktik politik transaksional dengan latar belakang kepentingan kelompok maupun ambisi pribadi politisi masih menjadi warna dalam proses politik di negeri ini."


Pembahasan RUU Pilkada sudah berlangsung lama sejak usul inisiatif disampaikan Kementerian Dalam Negeri, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada 28 Januari 2011. Kajian mendalam tentu akan memberikan referensi yang kuat dan membentuk sikap politik masing masing anggota DPR RI.

Terutama sekali apakah pemilihan langsung sesuai atau tidak dengan amanah UUD 1945. Apakah pemilihan kepala daerah masuk dan rezim pemilihan umum atau tidak. Istilah yang dipakai RUU Pilkada bukan RUU Pemilu Kepala daerah. Lantas apa masalahnya?  Secara konstitusional terminology Pemilihan Umum diatur oleh UUD 1945.

Apa dan bagaimana tentang Pemilihan Umum yang ditentukan oleh UUD 1945.

BAB VIIB PEMILIHAN UMUM

* Pasal 22E


  1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
  2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
  4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
  5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
  6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

Sangat tegas dan jelas tanpa tafsir bahwa pemilihan umum dimaksud adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Tidak ada setengah katapun menyebut Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah, Gubernur, Walikota, Bupati. Sehingga menurut UUD 1945 Pemilihan Kepala Daerah tidak termasuk dalam rezim Pemilu. Mengapa tidak masuk? Tentu menjadi materi studi hukum yang baik untuk dipelajari secara seksama.

Tetapi Undang Undang Nomer 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum memuat tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Undang Undang ini seolah memberi wewenang kepada KPU untuk melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah atau Pilkada langsung. Pemilihan Umum Kepala Daerah atau pemilihan langsung sebagaimana diatur dengan UU No.15 tahun 2011 jelas sekali menabrak amanah konstitusi UUD 1945.

Inilah yang mempengaruhi sikap politik kader Partai Demokrat untuk membelot dari sikap politk ketua umumnya. Hati nurani mereka tidak ingin rakyat menjalani kehidupan politiknya bertentangan dengan konstitusi negara. Mereka tidak ingin ketika RUU diketok menjadi Undang Undang, kemudian pada kesempatan berikutnya masuk persidangan di Mahkamah Konstitusi, karena masalah ini sangat prinsip dalam kehidupan bernegara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun