Namanya saja cerita fabel pasti fiksi, cerita dari dunia hewan. Cerita Ayam dan Bebek. Se jago jagonya ayam tidak pernah ada cerita Ayam bermahkota. Beda dengan bebek, sejelek jelekya bebek kalau jalan...wow aduhai lenggangnya itu lho yang bisa bikin pusing. Tapi sekarang ceritanya adalah hak prerogative bebek karena si empunya cerita menaruh mahkota di kepala bebek.
Anda pasti hapal jika angon bebek disawah. Ketika senja kuning terlihat silhuet yang yang indah. Pak Tani atau bu Tani ngangon bebek pulang kandang. kita selalu menyaksikan betapa tertibnya bebek berbaris. dan selalu ada “komandannya” yang berjalan atau berlari paling depan. kwek wek wewewek wek wek wek wewewek.
Tapi awal tahun 2015, entah apa sebabnya barisan bebek selalu kacau balau. Ternyata penyebabnya gara gara si bebek komandan masuk kuali jadi bebek goreng sambell Bali. Sudah keburu di goreng buat bekal nonton konser gigit jari di Munas. Nasiiibbb. “komandan baru” belum ada. Tunjuk saja komandan baru kok ribet sih.
Jangan salah, kawanan bebek punya aturan dan persyaratan tertentu untuk bisa jadi komandan. Harus pula menjalani “fit and proper test”. Diperlukan naluri kepemimpinan melalui nada suara yang khas agar semua anggota mengerti, paham dan taat pada perintah komandan. kwek wek wewewek wek wek wek wewewek.
Nah dalam situasi seperti itulah diperlukan peranan si bebek bermahkota. Karena pada mahkotanya itu terkandung hak prerogative untuk menentukan calon komandan bebek.
Bebek bermahkota mulai pilih memilih telor mana bisa diandalkan untuk jadi komandan. Berdasarkan konstitusi komunitas bebek telor harus dieramkan di induk ayam. Selanjutnya akan dilatih berbagai keterampilan dan ilmu ngelas kalau ditanya pers. Pelatih adalah Jagonya Ayam yang ditunjuk melalui rapat pleno dewan ayam sekandang nasional. Disingkat Deyamnas.
Segera saja bebek bermahkota menyerahkan telur pilihanya kepada ketua deyamnas. Selanjutnya fit and proper test melalui proses pengeraman oleh induk ayam terbaik nasional. Sebagaimana ketentntuan hukumnya ayam, masa proses pengeraman adalah 21 ( baca : selikur alias dua puluh satu ) hari.
Sampai pada hari ke tiga belas, normalnya si induk ayam biasanya sudah merasakan telur akan hidup menjadi anak. Tetapi kali ini terjadi keanehan, tidak ada tanda tanda kehidupan meskipun sudah hari ke 15. Si induk melaporkan kepada Deyamnas. Selanjutnya anda pasti tahu bahwa gossip adanya telur busuk mulai beredar di kalangan anggota Deyamnas.
Ringkas cerita dilakukan investigasi untuk memastikan apakah ada kesalahan prosedur pengeraman. Tapi ada juga Ayam yang dengan tegas mengatakan “pengeraman 21 hari adalah ketentuan proses hukum, jadi sabar sedikit kenapa siiihhh, tunggu proses hukum selesai”. Okelah kalau begitu, setujuuu…kata anggota dewan lainnya.
Setelah selesai masa 21 hari apa yang terjadi? Kok telor yang diserahkan bebek bermahkota tidak menetas juga. Trus masalah ini dilaporkan dan diperiksa oleh tim Sembilan bebek. Kesimpulannya “telor ini memang tidak bisa menetas” kata ketua tim Sembilan bebek. Tapi apa sebab musababnya, tidak jelas.
Tim investigasi jilid dua dimandatkan oleh dewan ayam sekandang untuk mencari tahu masalahnya. Tiba tiba saja ketua ayam marah marah berteriak teriak….kok kokok kokk kwok kokokokok kwok kwok kokokok…..ngawur kamu ya bebek bermahkota. Kurang ajar ya kamuuuu. Wuihhhhh grgetan grgetan keterlauan kamu menghina Deyamnas, menghina kami komunitas ayam.
Dengan senyum khas bebek ( coba deh yang punya cermin pada ngaca bagaimana akting senyuman bebek ). “Sabar yam sabar...ayam sabar pasti subur” kata si bebek bermahkota sok tenang.
“Sabar sabar cocormu beekkk monyong . Hey kamu jadi bebek tu yang benar….bebek katanya cerdas, gimana siihhh….itu telor yang kamu serahkan......telor asin tauuuu” #SensiParah
*****
Syam Jr - Banjarmasin, 24 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H