Laut dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber daya untuk kehidupannya, seperti rute pelayaran, kepentingan pertahanan dan keamanan, dan berbagai tujuan lainnya. Fungsi-fungsi ini telah mendorong penggunaan dan pemanfaatan laut oleh setiap negara berdasarkan konsep hukum tertentu.Â
Satu aspek menarik dalam dinamika politik dan keamanan global saat ini adalah berkaitan dengan perkembangan di kawasan Asia Pasifik. Kawasan Asia Pasifik terlibat dalam perkembangan yang berhubungan dengan isu-isu keamanan dan politik internasional yang ada di antara negara-negara di kawasan tersebut, yang berasal dari sejarah, sengketa perbatasan, dan teritorial.
Saat ini wilayah Laut China Selatan mencakup lautan dan tanah dari dua pulau besar, yaitu Spratly dan Paracels, ditambah dengan tepi Sungai Macclesfield dan Scarborough Shoal. Area ini membentang luas mulai dari Singapura di Selat Malaka hingga Selat Taiwan. Kedua pulau tersebut memiliki cadangan besar Sumber Daya Alam (SDA), khususnya mineral, minyak bumi dan gas alam.Â
Hal itulah yang membuat terjadinya konflik di Laut Cina Selatan terus berkepanjangan yang mengacu pada sengketa di Kepulauan Paracels, yang diperebutkan oleh tiga negara (China, Vietnam, dan Taiwan), serta di Kepulauan Spratly, yang diperebutkan oleh enam negara (China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei).
Melatarbelakangi konflik ini berlangsung begitu lama yakni; (1) Laut Cina Selatan memiliki kekayaan sumber daya alam yang mengagumkan, terutama minyak dan berbagai sumber energi lainnya. (2) Laut Cina Selatan memiliki posisi geografis yang sangat strategis, menjadi jalur lintas bagi kapal-kapal internasional yang melintasi Selat Malaka, yaitu jalur perdagangan penting yang menghubungkan Eropa dan Asia, serta Amerika dan Asia, dan sebaliknya. (3) Adanya kontras antara pertumbuhan ekonomi yang cepat di Asia dan penurunan pertumbuhan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, yang menjadikan Laut Cina Selatan sebagai wilayah yang diperebutkan oleh banyak pihak.
Meski Indonesia bukan bagian dari negara-negara yang terlibat dalam sengketa Laut China Selatan, peningkatan ketegangan di perairan tersebut dan potensi konflik menjadi perhatian bagi Indonesia. Hal ini bukan hanya karena perairannya berdekatan dengan Laut China Selatan, tetapi berpengaruh terhadap stabilitas keamanan dan ekonomi.Â
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Indonesia melakukan eksplorasi pertambangan minyak dan gas bumi di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif tersebut, juga karena stabilitas keamanan maritim di kawasan ini sangat penting untuk pembangunan Indonesia, terutama dalam konteks strategi Poros Maritim Dunia (PMD) sebagai bagian dari kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia.Â
Seiring perkembangannya, konflik di Laut China Selatan (LCS) mulai melibatkan Indonesia sejak tahun 2010, ketika Tiongkok mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia [1].
Klaim sepihak Tiongkok atas perairan Natuna terus berlanjut, memicu situasi "tegang" antara Indonesia dan Tiongkok pada tahun 2013 dan mencapai puncaknya pada tahun 2016. Pada bulan Maret, Mei, dan Juni 2016, sejumlah kapal nelayan Tiongkok memasuki wilayah ZEE Indonesia dan melakukan sejumlah aktivitas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing). Insiden serupa terjadi lagi pada tahun 2019 dan 2020, kali ini tidak hanya melibatkan kapal-kapal nelayan tetapi juga penjaga pantai Tiongkok melakukan pelanggaran yang sama [1]. Natuna, yang terletak di jalur pelayaran internasional dan dikenal kaya akan sumber daya minyak dan gas, memiliki cadangan gas bumi Indonesia yang mencapai 144,06 triliun kaki kubik (TKK). Cadangan ini terdiri dari cadangan terbukti (P1) sebesar 101,22 triliun standar kaki kubik (TSKK) dan cadangan potensial (P2) 42,84 triliun standar kaki kubik (TSKK). Cadangan gas terbesar di Indonesia berada di Natuna, tepatnya di Blok East Natuna dengan 49,87 TKK. Besarnya kandungan gas alam di Natuna membuatnya dikenal sebagai cadangan gas terbesar di Asia Pasifik [2].
Ancaman lain misalnya terdapat kapal China yang merapat dan memasuki wilayah laut Indonesia tanpa izin. Selain itu, beberapa kasus pencurian ikan yang dilakukan di perairan wilayah Indonesia. Kasus ini dimulai pada tahun 2009, menurut versi China, mereka memasukkan wilayah Natuna ke dalam peta wilayah mereka berdasarkan sembilan titik garis/nine dash line yang selama ini diklaim China dan menandai batas maritim mereka. Namun, dari sembilan titik garis ini, Indonesia tidak mengakui karena menurut Indonesia hal tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun [3].
Adapun begitu yang harus diperkuat dari Indonesia adalah meningkatkan pengelolaan batas wilayah Laut Natuna, dikarenakan batas suatu negara adalah manifestasi utama dari kedaulatan negara (sovereignty), termasuk penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan SKA, serta keamanan dan integritas wilayah. Manajemen pengelolaan batas negara Indonesia sangat penting. Salah satu upaya Indonesia dalam menjaga keamanan di wilayah perbatasan adalah dengan melanjutkan perundingan batas (diplomasi batas) untuk mencapai kejelasan garis batas Indonesia dengan negara tetangga, serta melakukan aktivitas eksplorasi minyak dan gas alam di Laut Natuna, sebagai bentuk eksistensi Indonesia di wilayah tersebut. Kemudian meningkatkan kemampuan pertahanan di wilayah Laut Natuna melalaui eksistensi alat pertahanan antara lain adalah untuk mendukung diplomasi, termasuk jika diplomasi dianggap gagal. Selain meningkatkan kemampuan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) melalui program pemenuhan kebutuhan pokok minimum (Minimum Essential Force/MEF), TNI juga harus meningkatkan kemampuan pertahanan di wilayah perbatasan, khususnya di Natuna, dengan menambah jumlah pasukan dan armada tempur [4].