Mohon tunggu...
Syam Syam
Syam Syam Mohon Tunggu... -

orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesibukan Kecil di Kantor Kecamatan....

1 November 2011   01:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:13 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kesibukan kecil di kantor kecamatan kami, mulai terlihat sejak pagi. Jarum jam menunjuk pukul 8.30 Wita.
Beberapa warga mulai tak dapat menyembunyikan kegelisahannya di kursi antrean. Seorang ibu setengah
baya menarik nafas panjang tiga kali di samping saya. Di sudut barisan, ibu berjilbab putih sudah memakai
kertas undangan sebagai kipas seadanya, padahal cuaca masih pagi. Ulah bapak-bapak lain lagi, lebih asyik
berbincang teman duduk terdekatnya. Topiknya macam-macam. Warga yang sudah datang lebih awal, duduk sejak pukul 07.30 Wita itu, mulai tak sabar menunggu giliran.
Padahal panitia mengundang mereka pukul 09.00 Wita, baru akan dimulai. Untungnya, panitia lebih sigap. Walau belum pukul 09.00 Wita, acara sudah dimulai. Warga yang sudah ada
disilahkan menunjukkan undangan dari panitia. Tak lupa panitia meminta nomor urut dalam kertas kecil.
Nomor ini dibagikan oleh Ketua RT masing-masing, kemarin malamnya. Rata warga juga membawa Kartu
Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk. "Ini untuk jaga-jaga, siapa tahu panitia minta," kata seorang
tetangga saya. Suasana halaman kantor kecamatan pagi itu, tampak semakin sibuk. Sebuah tenda ukuran 3 x 2 meter
dipasang. Warna tendanya biru, kadang biasnya terpantul ke baju warga yang duduk berjejer di bawahnya. Seorang perempuan berkacamata, mengenakan jilbab warna cokelat, sibuk menerima dan mencatat
undangan warga. Sebut saja namanya, Ibu Ati. Sambil mencatat, Ati juga mengatur warga yang punya giliran
masuk. Menurut ketua RT kami, nama petugas itu Ibu Ati. Orangnya lincah, sigap, dan trampil melayani warga. Bukan
itu saja, dia juga tahu banyak seluk beluk masalah kependudukan di kecamatannya. "Ini memang bagian saya,
masalah kependudukan, jadi jangan ragu kalau ada yang mau ditanyakan," katanya, sambil tanganya cekatan
mengatur antrean. Dari caranya menyampaikan setiap butir informasi, orang bisa menebak kalau dia pegawai punya pengalaman
banyak menghadapi warga. Benar saja, suatu saat, istri saya berbisik, "Kak, ibu itu yang seringan memberikan
penyuluhan di forum majelis taklim kami, di kompleks." Selain menerima pendaftaran, mengatur antrean warga, Ati juga kerja rangkap. Pekerjaan lainnya,
memberikan penjelasan teknis pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik. Ati cukup terlatih dan fasih menjelaksan tahap demi tahap proses pengurusan E-KTP itu. Mulai dari waktu
yang dihabis selama proses, sampai tahap penandatanganan akhir. "Satu orang di dalam hanya lima menit saja. Tapi kalau error biasanya akan lama, akan menjadi 10 menit,"
katanya. Dari sekian banyak tahapan, dia lebih banyak dan berulang-ulang kali menjelaskan soal scan mata. Lengkap
dengan tips yang harus lakukan warga agar memudahkan petugas. Contohkan ketika dia menjelaskan soal
scan mata. "Kalo giliran mata "pa bolla ki mata ta. --kasih membelalaki matanya---," kata Ati, disambut gemuruh tawa
warga yang sudah antre dari pagi. Tampaknya sang petugas cukup lihai menyenangkan perasaan warga. Walau ada beberapa warga yang sudah
tampak bosan menunggu terlalu lama. Matahari semaki bergairah memancarkan sinarnya ke bumi. Biji keringat pun menjajali jidat, dan beberapa
bagian tubuh kami. "Kalau susah ki membelakkan mata, coba kita pura-pura marah, biasanya mata langsung melotot..." katanya
lagi memberi tips. Hari ini giliran warga di lingkungan ORW/RT rumah kami. Semua kepala keluarga yang berjumlah sekitar 400
itu serentak dipanggil ke kantor kecamatan. Apalagi kalau bukan urusan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) elektronik yang kesohor dengan istilah E-KTP. Saya bersama keluarga berangkat pukul 08.00. Toh, setelah sampai di kantor kecamatan, sudah pukul 8.30.
Saya langsung melapor ke panitia, sambil menyerahkan kertas kecil bundar  yang dibagikan oleh ketua RT
kami, semalam. Satu per satu nama dipanggil. Kursi yang kosong karena ditinggal pergi warga tadi, terisi kembali oleh warga
yang baru tiba. Di sela-sela kesibukan di kantor camat, hari ini, Ibu Ati rupanya punya pengumuman lain.  Tak ada
hubungannya E-KTP. Dia menyampaikan soal rencana acara 'nikah massal' yang bakal digelar di Pantai Losari.
Sayang informasi itu hanya sekilas, tidak disebutkan pelaksananya dan kapan waktunya. "Yang mau ikut nikah massal silahkan mendaftarkan diri. Nikah massal ini akan digelar di Pantai Losari dalam
waktu dekat," katanya. Beberapa pria yang asyik ngobrol tiba-tiba terusik. Satu dua diantaranya langsung unjuk jari sambil nyengir.
Sontak saja, istri di samping langsung bereaksi. Untungnya hanya main-main. Bisa dibayangkan kalo
serius...hm pasti terjadi perang...hi... hi... hi... "Eh, sudah nomor antrean ke berapa yah...?" tanya Papa Nur, tetangga yang sering saya mintai bantuan
membetulkan listrik di rumah, kalau lagi bermasalah. Saya melirik ke depan, di atas meja ada kertas dilipat tiga, ada tulisan; "Laporkan Undangan/No". Selain itu,
sebuah informasi lain bertulis "Pengurusan E-KTP Gratis, tidak dipungut biaya", ditempel di dinding tepat di
samping kanan atas. Susunan kalimatnya didesin standar saja, sehingga muda dipahami warga. Sambil mengisi waktu, Ibu Ati terus berbicara, menyampaian apa saya yang melintas di kepalanya. Lebih-lebih
jika terkait E-KTP. Huaa... lancar sekali. Bahkan dia sempat menantang warga untuk bertanya tentang apa saja
soal kependudukan. Tiba-tiba seorang ibu datang marah-marah. Padahal dia baru saja datang, lebih lambat dari warga yang
sudah berjam-jam sabar menunggu. Ibu bertubuh agak subur itu mengaku sudah diarahkan oleh ketua RT-
nya. Mungkin maksunya untuk mendapatkan layanan spesial. Sayang sekali arahan ketua RT-nya ternyata
tidak ampuh. Ibu Ati menolak. "Tidak bisa begitu bu, warga lain sudah lama menunggu," tegas Ati. "Tapi, tadi malam kami sudah datang di sini, kanapa sekarang saya dimarah-marahi lagi," ketusnya. Dari
nadanya dia menyesalkan sikap panitia dan ketua RT-nya yang katanya memberikan arahan.. He he he,
marah nie... Ibu itu mengenakan jilbab hitam, baju bergaris putih. Sambil menjinjing sebuah buku agenda yang dibawanya
langsung ambil tempat di belakang. Bukan hanya itu, seorang ibu berpakaian warna merah maron, juga tak dapat menyembunyikan kekesalannya.
Dia tidak diterima oleh petugas Ati, gara-gara tidak ada nomor antrean. "Kalo tidak dilayani, yah tidak usah, toh ini pemerintah yang mengundang," katanya ketus. Dia langsung ke belakang dan menelepon ketua RT-nya yang katanya telah mengarahkannya datang pagi ini. Pukul 9.45 akhirnya kami mendapat giliran. Ati memanggil nama saya dan keluarga. Urutan antrean kami no
29. Seperti warga lain, saya bersama istri, dan seorang anggota keluarga, menjalani tahapan persis yang
dijelaskan Ibu Ati. Dua orang petugas telah menunggu kami di dalam ruangan. Keduanya perempuan. Satu orang bertugas
mengoperasikan komputer yang tersambung dengan kamera. Satunya lagi, duduk di samping meja. Tugas
membantu warga menscan jari dan jempol. "Badan tegak, jangan miring, lihat ke kamera...!" katanya memberi perintah. Tiba-tiba kilatan blizt kamera
memenuhi ruangan beberapa detik. "Sudah, sekarang jari-jari," katanya. Perempuan lain yang duduk di samping meja meraih tangan saya, meletakkan empat ujung jari  tangan kanan
di atas alat scan ---mirip chek lock di kantor saya--. Dia menekannya sejenak. "Yah sudah, sebelah kiri lagi,"
katanya. Pukul 10.12 wita seluruh proses selesai. Akhirnya kami tinggal menunggu KTP elektronik yang konon canggih
dan serba guna itu, hm hm sudah tak sabar rasanya.....
Selamat Pagi Semua....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun