"Jadi teman-teman yang mendengar program ini, saya minta maaf, maaf bahwa saya janji surga, waktu itu akan dibuka setelah Lebaran", itulah yang disampaikan Denni Puspa Purbasari selaku Direktur Eksekutif Project Management Officer PMO/manajemen pelaksana, tentang terundanya Gelombang ke 4 Pelaksanaan Kartu Pra Kerja). Ya janji "surga kartu pra kerja" akhirnya tertunda.
Dari data diketahui bahwa Kartu Pra Kerja akan memasuki Gelombang ke IV, dalam perencanaanya, setiap peserta mendapatkan total dana Rp 3.550.000.Â
Jika dirinci, insentif totalnya Rp 2.400.000 atau Rp 600.000 per bulan diberikan selama 4 bulan, insentif survei kepekerjaan sebesar Rp 150.000 dan Rp 1.000.000 untuk biaya pelatihan. Sehingga pada tahun 2020, total anggaran anggaran Rp 20 triliun, Program Kartu Pra Kerja ditargetkan mampu tersebar hingga 5,6 juta peserta.
Hingga saat ini total jumlah peserta gelombang 1-3 tercatat ada 680.918 orang. Jika didetailkan, total jumlah peserta pada gelombang pertama sebanyak 168.111 orang, tercatat pula sebanyak 161.512 peserta dengan status terdampak Covid-19 dipekerjaannya. Jika dihitung besaran insentif pada pencairan bulan pertama, insentif yang sudah cair kepada 361.214 peserta setara Rp 216,72 miliar.Â
Sementara untuk gelombang kedua, terdapat sebanyak 288.150 peserta, dan sebanyak 132.642 orang dengan status pekerjaan terdampak Covid-19. Sedangkan pada gelombang ketiga terdapat sebanyak 98.184 orang yang status pekerjaannya terdampak COVID-19 atau korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari total 224.657 peserta.
Dengan memperhatikan perjalanan Kartu Pra Kerja ini, dikaji dalam prespektif filsafat Budaya, nampaknya semua aktifitasnya berada dalam Pusaran Budaya Instan. Budaya ingin cepat dapat surga.
Budaya instan adalah budaya yang disebabkan perubahan tatanan masyarakat dalam suatu kemajuan peradaban, seperti dikemukakan oleh Theodore Adorno & Max Horkheimer dalam bukunya, Dialektika Pencerahan (2014), bahwa budaya instan lahir dari sebuah spontanitas. Budaya yang terbentuk atas sikap konsumerisme masyarakat yang terbentuk berdasar desain yang dibentuk pasar. Dalam pengertian ini adalah budaya yang dihasilkan dari kebutuhan dan kepuasan kapitalisme, untuk memperoleh kenikmatan dengan mudah dan menumbuhkan kebutuhan palsu.
Budaya ini membuat banyak orang melupakan esensi dari sebuah proses. ( Agustin, A, 2019) [i] . Budaya Instan, kemudian semakin bertumbuh di era Digital, dimulai dengan munculnya media sosial, seperti dikemukakan oleh Wakil Presiden Facebook.Â
Dalam wawancara dengan Washington Post, pada Desember 2017, bagaimana penggunaan media sosial membawa loop umpan balik jangka pendek yang digerakkan dopamin yang dapat memberikan perasaan kesempurnaan dan mendapatkan penghargaan dengan cepat dalam sinyal-sinyal jangka pendek - . Gambar "hati", suka, acungan jempol - dan ini adalah kebenaran kebanggaan. Padahal itu palsu, popularitas yang rapuh yang bersifat jangka pendek dan membuat kosong dan kosong sebelum melakukannya. "
Dalam konsep Neuroscience, diketahui bahwa Dopamin adalah Neurotransmitter - bahan kimia yang dilepaskan oleh neuron di otak kita yang membantu mengendalikan pusat penghargaan dan kesenangan otak.Â
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dopamin menyebabkan perilaku 'mencari'. Artinya dopamin menyebabkan sesorang mencari dan mencari (kesenangan). Sistem opioid, terpisah dari dopamin, kemudian membuat kita merasakan kesenangan. Penggunaan media sosial dapat menyediakan perpaduan yang sempurna antara mencari dan memuaskan secara cepat.
Bagaimana Pusaran Instan ini melanda Kartu Pra Kerja? Mari kita lihat bagaimana pusaran itu ada dalam keseluruhan stake holder yang terlibat dalam kartu Pra kerja.
Di dalam lingkaran Pemerintah; Pusaran Budaya Instan, terlihat dari prosesnya peluncuran yang sangat cepat. Dengan tujuan baik, membantu pekerja terdampak covid 19. Namun proses cepat ini "melupakan banyak hal ". Â Hal yang utama adal terkait dengan makna dan philsophis dari pelatihan dan makna kritis saat pandemi.Â
Dalam makna Pelatihan, sebagaimana diketahui bahwa pelatihan apapun merupakan proses pendidikan. Dan dalam proses pendidikan seperti dikemukakan oleh pemikir pendidikan, Goldstsein dan Gressner (1988); pelatihan adalah suatu usaha yang dibangun scara sistematis untuk menguasai keterampilan, peraturan, konsep, ataupun cara berperilaku yang berdampak pada peningkatan kinerja.Â
Dearden (1984) dalam Kamil (2010, hlm.7) juga mengemuakkan bahwa pelatihan pada dasarnya meliputi proses belajar mengajar dan latihan bertujuan untuk mencapai tingkatan kompetensi tertentu untuk mencapai efisiensi kerja. Sebagai hasil pelatihan, peserta diharapkan mampu merespon dengan tepat dan sesuai situasi tertentu.
Dengan demikian, di ditinjau dari sisi konsep pelatihan dalam konteks pendidikan pun sudah "melanggar" konsep dasar dari sebuah makna pendidikan. Lalu kenapa Pemerintah melanggarnya padahal didalam emerintah ttentunya dipenuhi para ahli pendidikan melakukan ini, ? Ini adalah kepentingan Instan (Cepat/Pragmatis) .Â
Keinginan memberi pelatihan dengan instan (cepat) Â kepada para korban, agar mampu bertahan dalam masa covid 19 Â menjadi pertimbangan, tapi ada prinsip dasar yang ditinggal bahwa proses cepat belum tentu hasil baik bagai peningkatan kapasitas seseorang. Bahwa hasil pelatihan 3 hari (dan online) tentu tidak dapat langsung bekerja.Â
Apalagi perusahaan mana yang mau membuka lapangan pekerjaan pasca covid 19. Atau dengan pelatihan online lalu akan mendapat keterampilan hidup, dan dapat berusaha atau menjadi wira usaha ? Wirausaha apa di era covid 19 ini yang banyak bertahan, ? dan tentu sudah jutaan pemain ada di usaha itu. Dan ada banyak jutaan langkah lain yang arus dilakukan untuk bisa berhasil dalam usaha.
Bagaimanpun Pelatihan merupakan bagian dari pendidikan, dimana dalam pendidikan ada yang namanya  "proses". Dan proses ini adalah penting dan tentu tidak instans. Meninggalkan proses, untuk kepuasan sesaat  berupa ; jumlah klik peserta, jumlah dana tersalurkan,  adalah hal mendasar yang harus segera ditinggal.
Memberi surga kepada masyarakat melalui beragam media, dengan para Influenzer, bahwa kartu pra kerja adalah solusi PHK , dapat membantu mencari pekerjaan, memberi tamabahn keterampilan untuk berusaha adalah sikap berlebihan terlebih di masa krisis pendemi ini. Ada banyak proses seseorang menjadi "bisa " apalagi ahli dan menjadi "bisa dan berguna" apalagi untuk berwirausaha.Â
Para promotor Kartu Pra Kerja  (kalau bukan buzzer) tidak perlu berlebihan "mengekepose" seseorang yang sudah ikut Kart Pra Kerja, lalu bisa  "menghasilkan" .Â
Ada banyak pertanyaan yang dapat disampaikan untuk menilai keerhasilan, antara lain berapa banyak dari yang ikut yang berhasil dalam usaha ? dari ratusan ribu peserta ? berapa banyak yang sudah bekerja ? dalam kondisi seperti pandemi , mana ada perusahaan menerima pekerja baru ?
Dalam konsep "kritis" tentu memberi pelatihan kerja saat "kritis pandemi" adalah kesia-siaan. Apa yang dapat dikerjakan saat kritis penyakit didepan mata. Memberi perlindungan kesehatan/keselamatan kerja, perlindungan "ketahanan hidup" tentu yang utama, setalh nya baru "berlatih.
Pusaran Instan juga mendominasi para penyedia konten pelatihan:Â Karena mengejar "target", dan tentu "peluang dana trilyunan", dengan kehlian media dan visual, para penyedia konten Pra kerja Menawarkan "Surga" -- Surga bahwa setelah meng klik kontennya akan dapat langsung membuat produk, membuat kueh, membuat kerajian, menjadi ahli, bisa bekerja dan surga lainnya.
Bagaimanapun pendekatan "komersial" para penyedia konten, akan berlomba menyediakan kontens dengan tidak mengindahkan "protokol pengajaran yang baik dan sehat" -- Dari mulai silabus, Â materi dan penyaji materi. Dunia Pelatiha Online kita, persis seperti yang disampaikan disampaikan oleh Tom Nichols (2017) , dalam bukunya Matinya para ahli dan Keahlian (2017).Â
Karena yang mengajar keahlian tidak diketahui kualifikasinya, siapapun saja dapat mengajarkan hanya mengumpulkan bahan- dari Internet lalu dibuat videonya. Bagaimana kualifikasi keahlian ? harus dipertanyakan. Juga terkait materi keahlian , apa memang siap untuk "dunia kerja kedepan" apa memang siap untuk menjadikan "wirausaha". Â Sekali lagi semua pasti akan ingat bahwa membangun usaha tidak bisa dengan secept membalik tangan.
 Bagi Peserta/calon peserta Kartu Pra Kerja tentu ada mimpi  "surga"; untuk  dengan cepat "selamat dari kritis pandemi" Surga utamanya adalah tentu "bantuan Tunai" dan selanjutnya dapat "pelatihan " . Tapi apakah dengan pelatihan akan dapat segera melakukan usaha ? tentu tidak , darimana modal? Jangan sampai banuan tunai untuk bertahan malah jadi modal usaha yang belum tentu jelas menghasilkan, dan akhirnya habis dengan sia-sia.Â
Demikian juga  jangan terlalu berharap bahwa setelah pelatihan dari Kartu Pra Kerja dengan latihan yang hanya beberapa hari,akan langsung bekerja > Sebelum Pandemi  jutaan lulusan SMK dan Sarjana  yang sudah berlatih lebih dari 3 tahun pun hari ini masih menganggur , mencari pekerjaan dan bahkan di saat pandemi yang sudah bekerja pun kehilangan pekerjaanya. Lebih baik dana dari Kartu Pra kerja di pergunakan dengan sebaik-baiknya untuk bertahan dan mengambl pelatihan yang ringan -ringan saja menambah pengetahuan
Bagi Masyarakat ? jelas kondisi masyarakat yang sudah lama masuk dalam pusaran budaya instan, sebagai bagian dari industri budaya seperti disampaikan Theodore Adorno & Max Horkheimer. Dan juga masuk dalam industri budaya digital yang selalu instan, tentu harapan  yang lebih realisitis pada masa pandemi dan new Normal adalah bantuan dana tunai untuk berahan hidup. Bantuan tunai akan cepat digunakan (walau cepat habis juga)
 Lalu bagaimana Bagaiman kedepan, agar keluar dari Pusaran Budaya Instan ? terlebih menempatkan "pelatihan dalam Kerangka Kartu Pra Kerja dalam bingkai "pelatihan selama Hidup untuk Bekal hidup?
 Tindakan menghentikan sementara Kartu Pra Kerja adalah tindakan tepat! Â
Bagaimanpun dalam era digital yang serba cepat, In seperti disampaikan Prof. Brian W. Kernighan, dari MIT, dalam bukunya yang berjudul Understanding the Digital World (2017) "jeda sesaat " adalah penting diperlukan. Ini semata untuk memberi ruang agar otak memberi pertimbangan "rasionalitas", memilih kembali jalan yang tepat sebelum jari jempol memutuskan melanjutkan.
 Demikian juga pakar manajemen Alastair Hazell, dalam kolomnya "Dunia Instan" mengajak semua untuk "Meninggalkan Handphone sejenak " dan kembalilah ke " dunia nyata".Â
Dalam konteks pelatihan bagi Pekerja, sebaiknya kembalikan konsep pelatihan dalam kerangka philosophis konsep pendidikan. Kembalikan pelatihan ke dalam "proses bisnisnya" walau tentu dengan cara yang lebih revolusioner tapi tidak meninggalkan prinsp dasar pendidikan. Membangun keterampilan, membangun usaha adalah proses yang berkelanjutan.
Oleh karenanya tinggalkan sebagian  "online" dan kembalikan ke "dunia kerja" - Pelatihan keterampilan - tidak bisa dibangun dengan hanya interaksi "mata - telinga" pada media digital - Ia harus Inetraksi semau panca indera dan tubuh manusia secara utuh, juga pikiran- Dia harus dilatih dengan bersentuhan langsung pada perangkat riil. harus praktek.Â
Dan ini tentu bahwa Pelatihan Tenaga Kerja bukan hanya masalah "kartu" tetapi juga adalah masalah pendidika pekerja yang utuh dan komprehnsif, : kebutuhan tenaga kerja, kurikulum, model pelatihan, sarana pelatihan dan isntruktur pelatihan yang kompeten dan keterkaitan dengan industri /tujuan kewirausahaan yang akan dibangun.
Lalu bagaimana nasib Kartu Pra Kerja ?Â
Kembalikan kartu par kerja sebagai "kartu " bukan "surga" . Kartu yang akan dipergunakan sebagai pintu masuk perjalanan panjang pendidikan seumur hidup .Â
Kartu Pra Kerja juga bisa menjadi identitas baru bagi orang yang sedang tidak bekerja, dikelola sebagai sebuah Big Data ketenagakerjaan, yang akan dipergunakan oleh seluruh perusahaan di Indonesia saat membutuhkan pekerjaan.Â
Membangun "Model Linkedin lokal" Indonesia mungkin diperlukan.Perusahaan di Indonesia "wajib" menggunakan data ini terlebih dahulu pada saat membuka lamaran pekerjaan.
Kartu PraKerja juga akan menjadi alat  untuk meregistrasi seoarang mendaftar pelatihan ke penyelenggara pelatihan yang diperluas.Â
Lalu Bagaimana Dana yang sudah Dianggarkan ?
Dana dapat dipergunakan untuk membantu Pekerja, terutama yang terkena PHK/dirumahkan, mekanismenya bisa saja antuan BLT untuk waktu terbatas , bagi pekerja yang usahanya benar-benar terdampak langsung korona, namun seger apulih.Â
Para pelayan toko, restoran, hotel,jasa wisata lainnya mungkin bisa menjadi priroritas. Dana dimaksud tentu bisa dipergunakan dengan memperlua bantuan /subsidi kepada indsuri misal membari " talangan gaji pekerja" tentu tidak semua dan bagi indsutri tertentu yang diperlukan cepat. Â misal industri yang masih bisa hidup dan membuthbkan pekerjaan namun volume menurun dan memperluas skema inseti lainnya yang lansgung dirasakan para pekerja yang terkena dampak.
Bagaimana dengan Program Pelatihan Pra kerja ?
Program Pelatihan Pra Kerja tentunya merupakan program yang baik, dan ini tentu harus diperluas dan dikembangkan, namun dengan perbaikan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja dalam jangka panjang bukan dalam "ketergesaan" .
 Dengan demikian dana yang sudah dialokasikan dan belum dipergunakan dapat dipergunakan untuk melanjutkan Program Pelatihan  Pra Kerja, (Tidak semata Program Kartu Pra Kerja) , antara lain dengan melibatkan semua lapisan masyarakat untuk menyebarluaskan konten keterampilan kerja. Hal ini berarti tidak terbatas pada 8 provider, tapi semua lapisan masyarakat, stake holder industri dan pendidikan di Indonesia, yaitu :
Pertama : Â Mendaya gunakan para ahli yang "terserak" di masyarakat yang berada selama ini di lembaga-lembaga kursus terserti fikasi yang pada saat ini mati. Â Ini juga trmasuk membantu dengan memberi subsidi penyedia konten pelatihan yang dibangun masyarakat misalnya memberi subsidi biaya internet atau biaya data lainnya. Kelompok masyarakat ini adalah kelompok para ahli yang ingin berperan membantu pemerintah mengatasi permasalahan tenaga kerja, dan ini tentunya harus didukung penuh. Â
Kedua : Mengoptimalkan bengkel-bengkel Industri yang berhenti karena Covid 19. Di kalangan Indsutri sendiri pasti banyak ahli/manajer profesional terlatih, yang pada saat ini berhenti karena indstrinya terdampak Covid 19. Untuk sementara industri-indsutri ini dapat diopimalkan jadi pusat-pusat pekatihan- Ini Potensi besar dunia pelatihan,Â
Dengan demikian Pemerintah dapat membantu para pekerja ahli yang terkena PHK aktif manjadi Intruktur/Tutor/menjadi guru.Ini tentu akan banyak membantu mereka dan indstrinya, dan pastinya ada perhitungan yang dilakukan yang saling menguntungkan. Misal membangun model insntif industri yang membuka pelatihan, dsb .
Ketiga : Menyebar pelatihan kepada Politkenik-politeknik seluruh Indoensia dan Perguruan tingg lainnya , yang labnya dan workshopnya belum dipergunakan karena mahasiswa dirumahkan. Ini juga membantu penghasilan para dosen honorer, yang berkurang pendapatan karena jam belajar berkurang. Memberi pelatihan kepada Sekolah-sekolah SMK yabg tutup karena pandemi ini juga membatu banyak guru honorer bidang ketrampilan yang kehilangan pekerjaan.
Bagaimanapun Kepuasan Instan tidak abadi ia akan cepat dilupakan sebagaimana keseruan setiap kali ponsel menyala dengan pesan teks baru atau tanda "suka" yang bisa kita dapatkan di foto Instagram dan posting Facebook kita, ini adalah tawaran kebahagiaan yang membabi buta, dan mereka terlalu cepat menghilang.
Kebahagiaan akan diperoleh dengan abadi bila kita lebih produktif dan bermanfaat dalam jangka lama, dan semoga Kartu Pra Kerja mewujudkan hal itu ; Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H