[caption id="attachment_211494" align="alignnone" width="600" caption="sisa gunduk bukit kunyit, menuju rata tanah (dok. syam)"][/caption]
Satu dari cinta —tepatnya cinta monyet— saya, jatuh pada Tanjungkarang. Tempat tumbuh banyak bukit, hijau asri, dan ia kota! Ia pula yang pertama kali mengajari saya bahwa perbedaan dapat hidup sesanding. Beberapa langkah saja dari stasiun kereta api Tanjungkarang, di jl. Kotaraja, sebuah mesjid hadap-menghadap dengan gereja. Mesjid Taqwa dan Gereja Kristus Raja.
Kali pertama ke Tanjungkarang, ketika saya masih berumur empat. Diajak Ubak, ayah saya. Kami berangkat naik kereta malam dari stasiun kereta api Prabumulih.
Ini adalah perjalanan raya! Dari seberang jendela saya melihat tangan-tangan lambaikan perpisahan di bawah temaram lampu peron. Lalu para pelambai seolah bergerak menjauh ke lawan arah kereta. Pada jendela, tinggal hitam kelam hutan malam.
Ya, ini adalah perjalanan raya! Seingat saya, seringkali saya terbangun. Takjub dengan kehidupan di dalam kereta saban kereta disambut stasiun-stasiun persinggahan. Lalu terang stasiun menembus jendela, penumpang-pengantar naik-turun, baskom-baskom panganan berkeliling dikepit pedagang.
Ketika hari mulai putih, terantarlah kami ke stasiun Tanjungkarang. Pada masa itu, ibukota propinsi Lampung adalah Tanjungkarang. Kelak di era 1990-an, ibukota propinsi diperluas dengan menggabungkan Tanjungkarang dan Telukbetung dalam satu kota bernama Bandarlampung.
Keluar dari stasiun, pemandangan bukit penghias kota tampak di arah kanan stasiun. Kelak saya tahu tidak ada bukit di Tanjungkarang, atau Bandarlampung sekalipun. Semua warga kota ini menyebut gundukan-gundukan menjulang itu sebagai gunung. Bukit di dekat stasiun itu bernama Gunung Sari.
Dari stasiun kereta, Ubak membawa saya bertandang ke rumah kerabat satu pupu di Kedaton. Kaki gundukan bukit yang berkapur. Berpohon di lerengnya. Gunung Banten.
Kami seorang demi seorang Prabumulih adalah warga kota kecil bertanah rata. Melihat bukit menyembul di banyak tempat adalah pemandangan baru di masa kecil saya. Sol sepatu tak bisa menyamarkan ketertakjuban telapak kaki saya menapak anak-anak tangga dan di lorong-lorong daerah kedaton, Tanjungkarang.
Sejak saat itu, saya selalu menunggu kapan datang ajakan berlibur ke Tanjungkarang. Sekali waktu datang lagi. Sekadar singgah dalam penyeberangan ke Jakarta. Menyaksikan bukit-bukit tumbuh sebelum naik feri dari pelabuhan Panjang. Itu kali terakhir ubak mengajak saya. Selebihnya tak lagi bisa. Dia sakit lama.
Tapi sesekali saya beruntung diajak uwak. Pedagang buah. Meski tak ada lambaian tangan melepas kepergian di peron stasiun. Meski terpaksa nyempil di antara nanas, kabau, cung, dan entah karung-karung entah berisi apa. Lakoni saja. Asalkan dapat menemui tanah tempat saya meletakkan satu dari cinta yang saya miliki.