[caption id="attachment_236118" align="alignnone" width="600" caption="kilang arak sederhana di Lembata (dok. budi ain)"][/caption]
Tersasar, salah alamat, kadang mengantarkan kita pada ketertarikan lebih jauh. Demikianlah, suatu hari di Lembata.
"Boleng-nya masih pigi iris," berkali-kali perempuan paruh baya menjelaskan sambil memandu masuk ke tengah kebun. Ia tampak kebingungan dengan kedatangan kami yang mengaku mencari kebun Pak Boleng.
Berkali ia sebutkan bahwa orang kami tuju masih pergi iris, mengiris bunga lontar mengambil nira. Untuk dibuat tuak, dan juga arak.
Padahal, menurut arahan terakhir yang kami terima melalui telepon, Pak Boleng sedang menunggu di pondok, menanti kedatangan kebun kami.
Kukira kami salah orang. Bisa jadi banyak orang bernama Boleng di sini. Mungkin ia semacam nama keluarga, marga. Saya tanya nama lengkap lelaki yang disebut-sebut sedang menyadap nira.
"Nadus," terang perempuan yang kemudian kami tahu istri si pencari nira, "Nadus Boleng. Bernardus Boleng."
Nadus Boleng. Kami salah alamat. Yang kami cari adalah Hadung Boleng.
Setelah informasi terang dan mencari petunjuk melalui telepon, kami berpamit. Meninggalkan pondok di tengah kebun.
Pondok yang tampak sebagai semacam kilang arak. Perlahan langkah kami menjauhi alat-alat penyulingan sederhana terdapat di sana. Tiga buah tungku dengan kuali dipadu periuk tanah, beberapa batang bambu panjang, dan sejumlah botol kosong bekas bir. Tapi hati terlanjur tertarik pada budaya tuak dan arak di sana.
* * *