Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyonya Sun dari Sìchuān

24 November 2010   04:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:21 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_219356" align="alignnone" width="450" caption="ini sih kaver buku (sumber image ada di bawah tulisan)"][/caption]

Malam kemarin, setelah berkali malam barulah kukenal namanya.

Nyonya Sun!” ujarnya menyoja menghadapku sebagai jawaban atas pertanyaanku. Malam di sebuah kedai minum. Aku balas menyoja dan sebutkan nama. Entah bagaimana ceritanya, malam itu ia seolah seorang pelayan di kedai minum milik keluarga Zhang yang terkenal sebagai penyedia arak terbaik se-Sìchuān.

Malam-malam sebelumnya kami hanya bertukar tatap di antara semi bunga-bunga cherry di ujung jalan menuju penginapanku, selintas kami bertatap di remang pesta lampion, sesaat kami berpandangan ketika perahu yang mengapungkan kami mengitari danau kecil pinggir kota di bawah bulan terang, pernah kami bertabrakan bahu ketika ia menjinjing keranjang sesayur sedang aku sibuk memotret suasana pasar yang baru terbangun tidur, dan beberapa kesekejaban yang kukira tak begitu penting lainnya.

Malam ini aku bertemu Nyonya Sun lagi. Kebetulan atau tidak, aku kemalaman di jalan sepulang mengunjungi kawasan pesawahan. Tiba-tiba dari balik semak kecil ia muncul menggamit tanganku dan melangkah cepat. Aku ikuti setengah berlari. Kulit telapak tanggannya selembut kapas membuat lariku bagai tak merasa injak tanah.

Di sebuah pondok petani yang tak berpenghuni ia melepas genggaman dari pergelangan tanganku. Cahaya hanya dari genting kaca terterobos terang purnama. Di hadapan kami lalu ada tampah berisi bulir biji-biji padi. Ia mengajariku mengenali bulir padi berisi dan antah hampa. Sesekali ujung jari kami bertemu. Aku merasa gugup. Kukira ia juga. Lalu gugup segera pudar setelah kami bertukar senyum dan ia menundukkan wajah menyembunyikan kulum senyum.

Pengujung sua, seperti biasa. Ia pergi tanpa berpanjang pamit. Pergi tak dalam gegas, tapi tak sedetikpun mampu kutahan.

Aku tak pernah tahu apakah esok malam kami bakal kembali bertemu. Yang kutahu pasti, tiap kali ia pergi, kudapati wajah polosnya pada lukisan hitam putih di kanvas yang menampal dinding kamar penginapan, tempatku bermalam selama menjalani tugas di kota ini.

[SyamAR; Prabumulih – Palembang, 23 – 24 November 2010] * Nyonya Sun dari Sìchuān, Pinjam nama tokoh dan tempat dari salah satu warisan Bertolt Brecht * Tempat nyolong image

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun