[caption id="attachment_98152" align="aligncenter" width="680" caption="Sapi dan Robin Terus Melangkah (dok. Pribadi)"][/caption]
Di hadapan saya sebuah pompa angguk yang berdiri tinggi. Pernah ia bekerja keras menimba minyak mentah dari perut bumi. Tapi logam perkasa di hadapan saya cuma monumen masa lalu. Sementara saya berkhayal tentang masa depan ladang minyak yang pelan-pelan redup cahayanya, sejumlah sapi yang dijaga seorang bocah tanggung, dengan tenang tersengguk-sengguk merumput .
[caption id="attachment_97373" align="alignright" width="300" caption="Bocah gembala di Monumen Pompa Angguk (dok. pribadi)"]
Gundukan tanah tempat monumen berdiri, berada di tengah kompleks perumahan Pertamina Pendopo. Padang hijau rumput di sekelilingnya. Pada bagian lembah, tampak beberapa petak sawah. Masyarakat luar komplek, yang notabene bukan “orang minyak” memanfaatkan padang rumput di sana sebagai tempat menggembalakan sapi.
“Robin,” jawab anak gembala itu pelan ketika saya tanya nama. Agak sukar memulai pembicaraan ringan dengannya. Matanya selalu memerhatikan ke mana arah sapinya mengejar rumput di lapang. Seolah menahan rindu menahun yang baru kesampaian hari itu. Demikian cinta ia pada sapinya.
Di antara segerombol sapi yang sedang merumput, dia jaga tujuh ekor. “Punya Bapak,” terangnya pelan. Sambil berjalan menyusul langkah menjauh sapinya dia bercerita, “setiap pulang sekolah, saya giring sapi ke sini. Nanti jam lima-an, saya giring tarik pulang ke rumah.”
Rumahnya di Talang Jawa. Hanya berkelang seruas jalan dengan perumahan Pertamina. Warga talang Jawa banyak yang memiara sapi. Sebagian dapat sapi berkat bantuan pemerintah kabupaten. “Pertama kali punya sapi, 2 ekor. Bantuan pemerintah. Tiga tahun, jadi tujuh ekor.”
Saya tangkap ada nada senang yang tersembunyi di suara bocah yang masih duduk di bangku SMP ini. Mirip menyamarkan semangat dan harapan. Sekadar supaya tak tampak menggebu; kian banyak perhitungan tarikh, kian banyak pula sapi yang dia piara di kota yang pernah berjaya karena kekayaan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi.
Berbeda dengan pendapat beberapa kawan yang saya singgahi. Seiring menipisnya kandungan minyak yang tersembunyi di bawahnya, sekilas kota kecil bernama Pendopo (Kec. Talang Ubi) di dalam Selatan Sumatra ini dianggap tak lagi punya banyak harapan.
Pendapat itu tak mengada-ngada. Gampang dicari pembandingnya di banyak titik di Nusantara. Nasib kota-kota tambang nyaris serupa. Tumbuh tergesa seolah-olah muncul dari tanah sejak canang pengurasan sumber daya alam ditabuh. Kegiatan penambangan skala besar memunculkan kota-kota gemerlap, secepat berjalannya pemindahan hasil bumi ke lain tempat, secepat itu pula nasib kota-kota tambang berakhir. Gunawan, seorang arkeolog senior pernah bercerita bahwa saat ini beberapa “kota timah” di Pulau Bangka dan Belitung mulai dipikirkan untuk jadi obyek-teliti arkeologi. Terutama pada kota-kota “kosong” yang ditinggalkan sejak berakhirnya pengerukan timah skala besar di daratan. Itu baru satu dekade silam!
Pendopo juga bisa begitu. Bila tak kaya alamnya, tak mungkin ladang minyak sejak 1927 ini menjadi sumber pengisi pundi-pundi maskapai minyak asing (Stanvac) selama setengah abad. Tak bakal menjadi salah satu incaran perusahaan swasta nasional (Ustraindo) milik Tutut Soeharto yang membonceng Pertamina ketika perusahaan negara ini mengelola lapangan minyak Pendopo. Kerjasama dengan Ustraindo yang berstatus Technical Asistance Contrac (TAC) berakhir dengan kerugian negara sebesar US$ 24,8 juta dan membuat Pertamina mesti membayar Rp 5 miliar plus 200 ribu barel minyak per hari untuk mengganti biaya uji kelayakan.