Indonesia merupakan negara multikultural dengan keberagaman budaya yang melimpah. Dari Sabang hingga Merauke, dapat kita temukan berbagai budaya dengan keunikannya tersendiri. Salah satu budaya yang melekat pada masyarakat Indonesia adalah budaya dominasi salah satu gender yang terasa secara nyata. Hingga saat ini, masih banyak budaya di Indonesia yang secara turun temurun masih memegang budaya dominasi gender. Secara mendalam, dominasi gender yang akan dibahas pada kesempatan ini adalah dominasi pihak laki-laki atau biasa disebut sebagai budaya patriarki.
Budaya patriarki di Indonesia masih sangat kental melekat pada masyarakat. Masyarakat tradisional menganggap bahwa kodrat laki-laki dan perempuan memang sudah ditetapkan begitu adanya oleh Tuhan. Padahal, terdapat perbedaan antara sex atau jenis kelamin dengan gender. Sex merupakan aspek biologis setiap manusia yang bersifat kodrati sejak lahir. Sedangkan gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya masyarakat mengenai peran dari sex tersebut. Seringkali masyarakat menyamaratakan sex dan gender sebagai hal yang sama. Mereka tidak mempermasalahkan budaya patriarki tersebut dan memandangnya sebagai hal alamiah. Berikut adalah bentuk-bentuk ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan.
- 1. Kekerasan
Kekerasan adalah suatu tindakan berupa serangan yang dituju dalam bentuk fisik maupun mental psikologis seseorang. Secara tidak langsung, pembedaan karakter dalam peran gender yang telah ditanam pada masyarakat melahirkan tindak kekerasan. Peran gender yang tertanam pada masyarakat secara umum adalah perempuan dianggap feminim memiliki sifat lemah lembut, penurut, dan lainnya. Sebaliknya, laki-laki dianggap maskulin bersifat gagah perkasa, berani, dan lainnya. Sesungguhnya, pembedaan karakter tersebut tidaklah salah. Namun, secara psikologis masyarakat memiliki pemahaman bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan laki-laki, sehingga hal ini dijadikan alasan untuk dapat berbuat semena-mena seperti melakukan kekerasan pada perempuan. Banyak sekali kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan akibat dari stereotip peran gender. Contohnya, kekerasan fisik seperti pemerkosaan, pemukulan, penyiksaan, yang dilakukan oleh suami pada istri. Kekerasan tersebut dapat berdampak sangat buruk jika dinormalisasi, korban akan merasa tersiksa dan tertekan. Ditambah lagi jika pelaku adalah orang terdekat seperti suami, korban akan kesulitan untuk keluar dari lingkar kekerasan tersebut karena berbagai pertimbangan yang harus dipikirkan. Selain kekerasan fisik, kekerasan non fisik pun seringkali terjadi pada perempuan. Pelecehan seksual secara verbal sangat mudah ditemui di berbagai platform media sosial. Tuntutan pada perempuan untuk dapat memenuhi standar kecantikan tak jarang berujung pada penghinaan. Perempuan yang berpenampilan tidak sesuai standar kecantikan seringkali menuai kritik berlebihan. Selain itu, banyak sekali oknum tak bertanggung jawab yang melecehkan perempuan berdasarkan cara berpakaiannya.
- 2. Stereotip atau Pelabelan Negatif
Stereotip atau pelabelan negatif adalah citra yang disematkan pada individu atau kelompok namun didasari anggapan yang salah dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Umumnya, pelabelan negatif digunakan sebagai pembenaran atas tindakan atau perilaku yang ingin menjatuhkan. Pelabelan negatif secara tersirat menunjukkan ketimpangan kekuasaan karena bertujuan menguasai pihak lain dalam konteks pembentukan image yang buruk. Contoh nyatanya, pandangan bahwa perempuan berperan sebagai ibu rumah tangga, bekerja hanya untuk pekerjaan domestik dan mengurus keluarga saja. Label "ibu rumah tangga" terhadap peran perempuan dapat menghambat perempuan untuk bekerja di ranah lain seperti pada ranah politik dan bisnis. Di sisi lain, laki-laki yang dipandang sebagai pencari nafkah utama menjadikan perempuan cenderung tidak diperhitungkan karena dianggap hanya membantu tambahan keluarga.
- 3. Subordinasi
Subordinasi mempunyai arti pandangan atau penilaian bahwa suatu peran yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin memiliki kedudukan lebih rendah dari jenis kelamin lainnya. Terdapat pemisah peran seperti anggapan perempuan bertanggung jawab atas urusan domestik dan reproduksi sementara laki-laki bertugas dalam urusan publik dan produksi. Sayangnya dalam realitas di kehidupan sehari-hari, tak jarang peran domestik dan reproduksi yang melekat pada perempuan tidak dihargai selayaknya peran publik dan produksi. Masyarakat cenderung memberikan apresiasi lebih atas berjalannya peran laki-laki pada lini publik. Selama peran dan fungsi laki-laki mendapatkan penghargaan sosial berbeda dari perempuan, selama itu pula ketidakadilan peran gender masih berjalan. Dalam dunia pekerjaan, tak jarang perempuan yang sudah menikah mendapatkan upah yang lebih sedikit. Hal ini terjadi karena anggapan bahwa mereka sudah mendapat nafkah dari suami.Â
- 4. Marginalisasi
Marginalisasi adalah proses peminggiran yang terjadi karena perbedaan jenis kelamin dan mengakibatkan adanya kemiskinan. Kondisi demikian sebenarnya sudah menunjukkan adanya pemiskinan berlandaskan alasan gender. Perempuan dianggap kurang kompeten dalam menjalankan pekerjaan di sektor publik. Pandangan ini menjadikan perempuan terpinggirkan untuk dapat bekerja seperti laki-laki. Contoh dari marginalisasi adalah perspektif masyarakat yang menganggap rendah pekerjaan seperti asisten rumah tangga, pekerja konveksi, guru TK, perawat, dan lainnya. Pandangan ini berpengaruh pada upah yang diterima seringkali kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Buruh pabrik perempuan pun rentan menghadapi PHK karena tidak memiliki kontrak formal dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Berbagai alasan mendasari adanya peminggiran ini seperti asumsi pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan, dan faktor reproduksi biologis seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.
- 5. Beban Ganda
Beban ganda merupakan beban pekerjaan yang harus ditanggung oleh salah satu jenis kelamin lebih banyak daripada jenis kelamin lainnya. Perempuan tidak hanya bertugas mengerjakan pekerjaan rumah tangga namun juga memiliki tanggung jawab menjalankan tugas reproduksi yang dianggap bersifat permanen. Misalnya, seorang istri harus melayani suaminya, hamil, melahirkan, dan menyusui. Tidak hanya itu, terdapat pula istri yang ikut serta mencari nafkah di luar rumah. Mencari nafkah tidak menghilangkan tanggung jawab seorang istri untuk lepas dari peran reproduksinya. Meskipun saat ini sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di sektor publik, hal ini tidak diikuti dengan berkurangnya beban tanggung jawab perempuan atas tugas domestik. Sehingga, perempuan yang bekerja di tempat kerja masih harus mengerjakan perannya di rumah. Sosialisasi mengenai peran gender yang ditanamkan demikian menimbulkan rasa bersalah dan tidak nyaman pada perempuan jika tidak menjalankan pekerjaan rumah tangga. Berbanding terbalik, laki-laki tidak diharuskan mengurus rumah tangga dan bahkan, pada tradisi budaya tertentu laki-laki dilarang terlibat langsung mengerjakan pekerjaan domestik. Berbagai upaya yang dapat dilakukan perempuan untuk mengurangi tugasnya adalah dengan substitusi pekerjaan kepada perempuan lain. Contohnya, menggunakan jasa asisten rumah tangga atau meminta tolong bantuan pada anggota keluarga perempuan lainnya. Akan tetapi, walaupun secara fisik tugas tersebut dialihkan, tanggung jawab atas pekerjaan domestik tetap menjadi milik perempuan. Dengan demikian, adanya berbagai peran gender menjadikan beban yang dibawa perempuan berlipat kali ganda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H