Pengundian nomor urut capres dan cawapres pada 14 November 2023 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menimbulkan kontroversi, dengan beberapa pihak mengklaim bahwa proses ini telah direkayasa demi menguntungkan tiga partai peserta pemilu utama: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Sebagai contoh, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, yang didukung oleh Partai Nasdem, PKB, PKS, dan Partai Umat, diberikan nomor urut 1, yang juga merupakan nomor urut PKB.Â
Begitu pula, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, dengan dukungan dari Koalisi Indonesia Maju yang beranggotakan Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, Partai Demokrat, PBB, PSI, Partai Garuda, Partai Gelora, dan Prima, diberikan nomor urut 2, yang sesuai dengan nomor urut Partai Gerindra.Â
Sementara itu, pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, yang diusung oleh PDIP, PPP, Partai Hanura, dan Perindo, mendapatkan nomor urut 3, yang juga mencerminkan nomor urut PDIP di pemilu 2024.
Namun, Ketua KPU RI, Hasyim Asyari, dengan tegas membantah adanya rekayasa dalam pengundian nomor urut. Menurutnya, proses pengundian dilakukan sesuai mekanisme yang diatur KPU RI, termasuk pengambilan nomor antrean dan pengambilan bola undian dalam wadah kaca.
"Enggak ada (rekayasa)," tegas Ketua KPU RI, Hasyim Asyari, usai memimpin acara Rapat Pleno Terbuka Pengundian Nomor Urut Capres-Cawapres, di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, seperti dilansir RMol.id (15/11/2023).
Meskipun demikian, pengundian nomor urut ini, akhirnya memiliki implikasi khusus bagi PDIP yang mendapatkan nomor urut ke-3, yang dianggap sebagai nomor keramat bagi partai tersebut sepanjang sejarahnya.Â
Untuk diketahui, PDIP (dahulu PDI) selama berpuluh-puluh tahun di masa Orde Baru hanya mempunyai nomor urut ke-3.
Hal serupa juga berlaku untuk PKB yang diuntungkan dengan nomor urut 1, memudahkan dalam kampanye dan sosialisasi.Â
Namun, pasangan Prabowo dan Gibran dengan nomor urut 2 mendapat sorotan khusus, terkait identitas historis nomor tersebut dengan masa Orde Baru, yang mengingatkan pada kekuatan Golkar memiliki nomor urut ke-2 dan peran Prabowo sebagai mantan menantu Soeharto.
Di Pilpres 2014, Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa melawan Jokowi-JK, hasil pengundian Prabowo-Hatta mendapatkan nomor urut ke-1, dan ketika Pilpres berlangsung Prabowo dipaksa untuk mengakui keunggulan Jokowi-JK.
Begitu pula saat bertarung di Pilpres 2019, Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno mendapatkan juga mendapatkan nomor urut ke-2, dan nomor 2 memang begitu menyakitkan baginya karena saat itu Prabowo juga kalah dari Jokowi-Ma'ruf Amin.
Dengan kata lain, baik saat mendapatkan nomor urut 1 maupun ketika mendapatkan nomor urut 2, Prabowo Subianto tak sekali pun bisa memenangkan Pilpres yang diikutinya.Â
Termasuk juga saat mendampingi Megawati Sukarnoputri di Pilpres 2009, dimana pasangan Mega-Prabowo mendapatkan nomor urut ke-1. Ketika itu, Pilpres dimenangkan oleh pasangan nomor urut 2, SBY-Boediono.
Pertanyaannya, apakah polemik ini sekadar sejarah nominal atau memiliki implikasi nyata pada pilihan pemilih? Pada akhirnya, nomor urut hanyalah satu aspek dalam perjalanan panjang menuju pemilihan presiden yang adil dan transparan.
Diakui atau tidak, penulis menilai setidaknya PKB, Gerindra, dan PDIP akan memanfaatkan nomor urut capres dan cawapres yang kebetulan sama dengan nomor urut partai mereka.Â
Kesamaan nomor urut ini akan memberikan efek "ekor jas" untuk mengoptimalkan raihan suara untuk partai.
Bagaimana menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H