Jika ditanya puaskah penulis dengan hasil sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang hasilnya memutuskan bahwa 9 Hakim MK telah melanggar kode etik pada perkara batasan usia capres-cawapres?
Jawabannya tentu saja tidak puas, karena sanksinya hanya berupa teguran lisan dan tertulis terhadap beberapa Hakim MK dan pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK, bukan pemecatan secara tidak hormat dari Hakim MK.
Sejatinya, sanksi yang harus ditanggung semua Hakim MK adalah pemecatan secara dengan tidak hormat dari jabatan hakim MK, mengingat hasil keputusan yang dibuat secara cacat etika itu pun tetap berlaku, dimana pengusungan Gibran Rakabuming Raka tetap dianggap sah dan tidak bisa diganggu gugat meskipun secara hakikat mencederai semangat reformasi.
Hasil keputusan MKMK ini dinilai hanya sekadar memuaskan keinginan para penggugat, sedangkan esensi dari upaya gugatan tersebut tidak tersentuh sama sekali. Meskipun kemudian harus digelar sidang baru mengenai perkara batasan usia capres dan cawapres pasca sidang MKMK, hasilnya baru bisa  berlaku untuk Pilpres 2029.
Seperti diketahui, lahirnya Mahkamah Konstitusi yang sudah lebih dari 20 tahun ini merupakan buah dari reformasi yang digulirkan mahasiswa di tahun 1998.Â
Reformasi mahasiswa 1998 ini juga kemudian menjatuhkan Suharto yang 32 tahun berkuasa. Karena itu, hakikat dari reformasi itu sendiri, salah satunya dan yang terpenting, menghendaki adanya pembatasan jabatan presiden.
Ironisnya, yang saat ini terjadi adalah Ketika MK nyata-nyata digunakan sebagai alat untuk melegitimasi pengusungan Gibran Rakabuming Raka, yang tak lain adalah putera sulung Presiden Joko Wododo untuk bisa diusung sebagai bakal cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.Â
Dengan kata lain, ada upaya dari Presiden Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya melalui tangan anak sulungnya itu.Â
Tentu saja, pengusungan ini tak lain sebagai upaya Presiden Jokowi untuk melanjutkan kekuasaannya yang seharusnya berakhir hanya untuk dua periode.Â