Kalau saya ditanya apakah anak-anak muda zaman sekarang memiliki kesamaan dalam memaknai Sumpah Pemuda seperti halmya pemuda di masa lalu? Agak bingung juga untuk menjawabnya secara benar.
Namun, kalau mau sedikit dicermati, persoalannya memang tidak jauh berbeda keadaan saat ini dengan keadaan di masa lalu, khususnya masa penjajahan.
Karena, apa yang terjadi saat ini, sepertinya kita berada di titik paling jenuh, dimana rasa persatuan sudah tidak lagi dianggap penting. Kita seperti kembali terkotak-kotak dan mudah sekali terbakar emosi lantaran perbedaan yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan.
Persatuan dan kesatuan punya nilai yang cukup mahal. Jika kita menengok ke belakang, tekad lahirnya Sumpah Pemuda itu sudah dirintis para pemuda jauh-jauh hari.
Bisa dikatakan, sejak lahirnya Budi Oetomo di tahun 1908, para pemuda sudah mulai merintis organisasi. Dan, untuk mencapai satu tekad atau kesadaran bagaimana menyatukan seluruh bangsa untuk merdeka, baru terlaksana Sumpah itu di tahun 1928. Butuh 20 tahun untuk punya satu tekad yang sama.
Ketika tekad sudah terbangun, selanjutnya keasadaran untuk satu tujuan pun mulai menggelora. Para pemuda begitu percaya, tanpa adanya persatuan, mustahil kemerdekaan akan begitu mudahnya diraih.
Dan, tak butuh waktu 20 tahun, kemerdekaan itu akhirnya datang juga. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah puncak dari aktivitas para pemuda kita di masa lalu.
Hari ini, tatkala Sumpah Pemuda sudah berusia 94 tahun, tentu saja kekuatannya sudah semakin rapuh. Kalimat-kalimat syakral dalam Sumpah Pemuda yang menyatukan seluruh rakyat dalam satu kesatuan, sepertinya sudah semakin dilupakan.Â
Para pemuda kita saat ini tengah berlomba-lomba untuk mencari jati dirinya. Dengan segala apa yang dimiliki, para pemuda kita sudah tampak semakin jauh dari apa yang dicita-citakan para pemuda di masa lalu. Pola hidup konsumtif, penyalahgunaan narkoba, dan gaya hidup lainnya yang jauh sekali dari semangat pemuda tahun 1928-an.