Usai Pilpres 2019, kita semua disuguhi pertemuan bersejarah antara Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, 13 Juli 2019 lalu. Pertemuan tersebut bisa dianggap sebagai rekonsiliasi setelah keduanya berkompetisi. Pertemuan itu tentu saja mendinginkan suasana dan sekaligus mempersempit polarisasi yang selama ini terjadi di antara kedua pendukung.
Pertemuan selanjutnya yang tak kalah penting, kunjungan Prabowo ke Kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Pertemuan kedua politisi senior ini, justru dinilai oleh beberapa partai pendukung Jokowi sebagai upaya Gerindra masuk ke dalam Pemerintahan Jokowi.
Tentu saja, partai-partai pendukung Jokowi (selain PDIP), seperti Partai Golkar, NasDem, PKB, dan juga PPP merasa khawatir jika Gerindra menjadi bagian dari pendukung Jokowi-Ma'ruf di dalam Pemerintahan Baru.Â
Menurut pemahaman penulis, partai-partai tersebut, sepertinya mengkhawatirkan jatah kursinya di Kabinet bisa berkurang. Oleh karena itu, partai-partai yang memiliki kursi di Parlemen tersebut membuat narasi bahwa koalisi sudah gemuk, sehingga tidak diperlukan lagi masuknya partai baru masuk. Padahal, kita semua mafhum, soal anggota Kabinet adalah hak mutlak Jokowi. Bisa saja menteri-menteri yang akan menduduki kabinet baru Jokowi lebih didominasi kalangan profesional, bukan dari parpol pendukung.
Apakah partai-partai itu tak memahami bahwa pertemuan antara Prabowo dan Megawati adalah pertemuan dua sahabat lama? Seperti kita ketahui antara PDIP dan Gerindra pernah menjalin hubungan yang begitu mesra di Pilpres 2009. Namun, kemesraan PDIP dan Gerindra pupus setelah PDIP mengusung Jokowi di Pilpres 2014, melawan Prabowo Subianto. Itulah politik, tak ada teman atau musuh yang abadi. Yang ada adalah kepentingan.
Pahamilah bahwa pertemuan antara Megawati dan Prabowo adalah silaturahmi biasa. Jika pun dikhawatirkan Gerindra masuk kedalam koalisi pemerintahan Jokowi, terimalah semua itu sebagai cara menyerap aspirasi dari pendukung Prabowo-Sandi yang jumlahnya 68.650.239 suara atau 44,50%. Bagaimanapun Indonesia yang besar ini, tak bisa dikerjakan sendiri oleh pemenang kontestasi. Akan tetapi, membangun Indonesia juga membutuhkan dukungan dari mereka yang tidak memilih Jokowi-Ma'ruf.
Jika pertemuan Megawati dan Prabowo itu akhirnya akan melahirkan aliansi baru untuk Pilpres 2024, hal itu juga tak perlu dirisaukan, karena masih terlalu jauh dan segalanya bisa saja berubah di tengah jalan. Namanya juga politik!
Lantas bagaimana caranya agar Gerindra tidak mengurangi jatah kursi partai pendukung Jokowi di Kabinet? Buat sajalah kesepakatan bahwa partai-partai pendukung Jokowi yang memiliki perwakilan di Parlemen untuk bisa juga legowo menyerahkan kursi Pimpinan MPR RI kepada Partai besutan Prabowo Subianto itu.Â
Dengan demikian, antara PDIP dan Gerindra bisa kembali rujuk, dan Gerindra pun bisa mendukung kebijakan Jokowi di parlemen, sekaligus juga memberikan kritik konstruktif untuk Pemerintahan Jokowi mendatang.
Masalahnya, ada kemauan atau tidak, baik Golkar, NasDem, PKB, mupun PPP menyukseskan jalannya pemerintahan Jokowi di periode terakhirnya ini. Bila ada kemauan, ikhlaskanlah kursi Ketua MPR RI itu untuk Gerindra.