Tidak bisa dipungkiri, ada sebagian besar di antara umat Islam di Indonesia yang ketika harus memilih seorang pemimpin, dia menyandarkan sepenuhnya pada dalil-dalil yang ada di dalam Kitab suci Al-Quran. Ada yang berpendapat bahwa bagi umat Islam wajib hukumnya memilih pemimpin yang juga beragama Islam. Ada juga yang lebih menyandarkan pada kapabilitas dan juga integritasnya, sedangkan agama tidak  terlalu dipersoalkan.
Dalil-dalil tersebut, tentu saja oleh para ulama juga ditafsirkannya secara berbeda, sehingga ada dua pendapat atau bahkan lebih, yang sama-sama memiliki argumen yang kuat untuk menopangnya.
Secara pribadi, saya juga punya penafsiran sendiri bagaimana memilih seorang pemimpin. Misalnya ketika harus memilih seorang Gubernur atau Presiden, maka saya tidak melihatnya dari sisi agama atau kepercayaannya yang dianut si calon.
Buat saya, rekam jejak atau pengalaman itu lebih penting dan mendesak yang harus melekat pada sosok calon pemimpin, seperti Presiden misalnya.
Namun, saya juga tidak bisa menyalahkan atau memaksakan keinginan saya jika ada orang lain, atau bahkan keluarga saya sendiri yang memilih Presiden berdasarkan  kefasihannya atau ketaatannya dalam beragama, khususnya Islam.
Terkait dengan kontestasi Pilpres 2019, masyarakat Indonesia dihadapkan dengan dua pilihan, yang tidak berubah dengan Pilpres 2014 lalu, yaitu antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
Kedua capres peserta Pilpres 2019 ini,tentu saja memiliki pengalaman dan juga rekam jejak yang sudah diketahui masyarakat. Pilihan yang paling realistis adalah memilih Presiden berdasarkan pengalaman dan rekam jejaknya. Sedangkan, bagi sebagian masyarakat lainnya, memilih Prabowo merupakan bagian dari ijtihad (usaha yang sungguh-sungguh) politiknya sebagai seorang muslim.
Lantas, timbul pertanyaan, Â bukankah kedua capres yang berlaga di Pilpres 2019 nanti adalah sama-sama seorang muslim? Apa bedanya? Inilah sebuah kenyataan bahwa politisasi agama sudah kehilangan maknanya.
Semuanya berawal sejak Pilkada DKI 2017, yang mengajarkan  betapa politisasi agama menyebabkan polarisasi yang tiada akhir di masyarakat. Bahkan, politik identitas yang menonjolkan isu berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) kembali menggejala di Pemilu Presiden 2019.
Posisi Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak tergoyahkan dari pasangan manapun di Pilkada DKI 2017 lalu. Hal ini karena kinerja dan pengalaman Ahok yang banyak memberikan perubahan di Jakarta. Namun, semuanya bisa dibuat sirna dengan politisasi agama yang menyerang Ahok hingga akhirnya mengantarkan mantan Bupati Belitung Timur itu ke tahanan.