Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Awas Ranjau-ranjau Orde Baru di Kubu Prabowo-Sandi!

24 Desember 2018   15:03 Diperbarui: 26 Desember 2018   09:38 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak bisa dipungkiri, jatuhnya kekuasaan Soeharto di tahun 1998, tidak bisa begitu saja dilepaskan dari praktek-praktek bernegara yang dianggap menyimpang, dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia yang sudah semakin maju dan terbuka.

Praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme(KKN) yang kerap terjadi di tataran elite pemerintahan orde baru semakin menambah panjang rentang kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Kekuasaan politik yang begitu terpusat pada satu orang, yaitu Presiden Soeharto, memperlihatkan seakan rezim ini tak pernah mau belajar dari jatuhnya rezim sebelumnya.

Belum lagi, kekuatan militer yang ada, justru digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuatan politik penguasa. Begitu pula Aparatur Sipil Negara (pegawai negeri) yang semestinya netral, justru berada di bawah kendali Soeharto yang menggunakan Golongan Karya sebagai alat politiknya, sehingga suaranya pun lantang mendukung penguasa.

Penyederhanaan kekuatan politik menjadi dua partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya, hanya digunakan sebagai bukti kepada dunia internasional bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, meskipun kekuatan sesungguhnya hanya di tangan Soeharto.

Karena itu, sejarah pun mencatat, Golongan Karya selalu jadi pemenang di setiap Pemilu di masa Orba. Dan, artinya Soeharto selalu diangkat menjadi Presiden/Mandataris MPR.

Kekuasaan eksekutif semakin tak terbendung. Kekuasaan Soeharto semakin besar, kekuasaan eksekutif, mulai dari Gubernur, Bupati/Walikota, bahkan hingga camat dan lurah merupakan satu komando. Dengan kata lain, saat itu, tak ada gubernur atau bupati yang berasal partai selain dari Golongan Karya.

Berlarut-larutnya penyimpangan yang membuat Soeharto tak terusik dari kursinya, membuat hukum alam pun bicara dengan lantang. Kekuatan ekonomi yang selama ini dibangun, ternyata begitu rapuh, sehingga tak bisa lagi bertahan ketika ada gelombang krisis yang datang dari luar.

Ditambah lagi, kekecewaan rakyat, baik karena ketimpangan ekonomi maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sering dilakukan penguasa, membuat penolakan terhadap rezim yang sudah berkuasa 32 tahun ini semakin besar. Dan, lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, menjadi bukti solusi akhir mengatasi krisis yang ada. 

Lengsernya Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun ini menjadi bukti bahwa apa yang terjadi selama 32 tahun ini memang sudah saatnya harus dikoreksi.

Sejumlah keluarga korban pelanggaran HAM berat melakukan aksi Kamisan, untuk memperingati terbunuhnya keluarga mereka. (Dok.Jawapos)
Sejumlah keluarga korban pelanggaran HAM berat melakukan aksi Kamisan, untuk memperingati terbunuhnya keluarga mereka. (Dok.Jawapos)
Era Reformasi  yang berjalan hingga usianya yang sudah 20 tahun ini, bukan berarti berjalan mulus tanpa hambatan sedikit pun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun