Seperti yang kita ketahui, belakangan ini seringkali kita menyaksikan adanya upaya membenturkan antara agama dan budaya di tengah masyarakat. Hal seperti ini, yang dahulu hampir tak pernah kita temukan.
Apakah benturan ini terjadi lantaran arus reformasi yang memberikan keleluasaan dalam berpikir dan berpendapat, atau hal ini sekadar eforia setelah lama terkekang?
Tak bisa dielakan, apabila benturan antara agama dan budaya ini dibiarkan begitu saja, dikhawatirkan dampaknya bisa merembet kemana-kemana, bukan hanya merusak persoalan agama dan budaya, melainkan juga merusak sendi-sendi lainya, seperti ekonomi, sosial, dan juga politik.
Inilah salah satu tantangan bangsa kita dengan keragaman agama dan budaya yang ada. Kalau tidak pandai-pandainya kita menjaga, merawat dan memeliharanya, bukan hal yang mustahil apa yang dikhawatirkan bisa saja terjadi.
Antara agama dan budaya adalah dua hal yang saling membutuhkan, bahkan keduanya juga saling terkait satu sama lain. Budaya adalah sesuatu yang mengandung nilai spiritualitas, sedangkan agama itu sendiri membutuhkan budaya sebagai ruang aktualisasi. Apabila benturan antara budaya dan agama tidak disikapi secara bijak, yang terjadi justru akan lebih mengkhawatirkan.
"Ini harus kita sikapi. Kalau tidak, ini tidak hanya merusak keduanya, tapi keindonesiaan kita juga bisa runtuh. Dua hal ini modal," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam Sarasehan tentang Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Bantul, Yogyakarta.2 -3 November 2018.
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang mulai memperlihatkan eforianya pasca-reformasi, menjadi sesuatu yang dilematis ketika dibawa ke rana politik. Sebenarnya, kebebasan ini tidak akan merusak sendi-sendi kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara, ketika kita tetap berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Bagaimana pun kebebasan berpikir dan berpendapat, jangan sampai keluar dari Pancasila dan UUD 1945. Jika sampai keluar, artinya kebebasan yang kita gaungkan telah melanggar kesepakatan yang sudah dibuat sejak kita merdeka. Dengan kata lain, kehidupan berpolitik yang begitu menggelora pasca reformasi, juga jangan sampai merusak agama dan budaya yang selama ini berjalan seiring. Perlu diakui, agama dan budaya kita itu justru selma ini merekatkan kita sebagai bangsa  yang berbhineka tunggal ika, yang gaungnya terdengar di seluruh penjuru dunia.
Perlunya kesadaran kita semua bahwa kita hidup di negara kebangsaan, bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Indonesia bukanlah negara Islam atau negara agama lainnya. Setiap warga negara memiliki kebebasan dalam memeluk agamanya dan keyakinannya masing-masing dan juga beribadah sesuai dengan ajaran agamanya masing. Semua itu sudah diatur di awal berdirinya negara ini. Karena agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang paling fundamental bagi bangsa kita.
Masyarakat muslim di Indonesia memang merupakan mayoritas dari penduduk di sini. Namun, seperti yang sudah disepakati oleh para pendiri Republik ini bahwa kita adalah negara bangsa, sehingga apapun harus mengacu pada aturan hukum yang sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, dalam konteks berbangsa dan bernegara, budaya dan agama sejatinya merupakan dua hal yang tidak perlu dipertentangkan lagi. Seperti yang dikatakan Menteri agama, bahwa dalam pengembangan budaya di Indonesia, sudah seharusnya menghargai nilai-nilai prinsipil dalam agama yang dianut. Begitu juga sebaliknya, dalam pengembangan agama juga tidak semestinya mengakibatkan hancurnya keragaman budaya, tradisi, dan adat istiadat yang ada di Indonesia.