Melalui artikel ini, saya ingin sekadar kembali mengingatkan kita semua, termasuk diri saya sendiri. Siapa pun yang kita pilih dalam pemilihan anggota legislatif (Pileg) atau pemilihan presiden (Pilpres) pada tahun 2019 nanti, sedikitnya ikut memberi warna  apa yang kita inginkan.
Kita bebas memilih siapa saja, baik yang kita ketahui rekam jejaknya maupun calon yang tidak kita ketahui sekalipun. Karena itu, kita perlu memikirkan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita asal memilih, lantas kita menyesali seumur hidup.
Loh, kenapa saya katakan menyesal seumur hidup, bukannya hanya lima tahun? Buat saya, jika Pemerintahan ini sekali saja salah melangkah, maka bisa saja kesalahan itu akan terus dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan selanjutnya.Â
Ambil contoh, ketika Pemerintahan Orde Baru berkuasa, Freeport dan sumber kekayaan alam lainnya yang pengelolaannya diberikan kepada Asing, maka beberapa kali ganti presiden pun kekayaan itu tetap dikelola asing.Â
Karena itu, ketika Freeport, Blok Mahakam, Blok Rokan, dan lainnya yang di masa Pemerintahan Joko Widodo mulai kembali ke pangkuan kita, momen itu harus dipertahankan, atau bahkan bila perlu kita rebut  kembali kekayaan lainnya yang selama ini masih berada di tangan asing. Dan, tantangan itu tidaklah mudah, bahkan bisa mendapat hambatan dari dalam sendiri.
Ketika kita harus memilih, kita akan kesulitsn bila dihadapkan pada dua pilihan, yakni "Politisi Busuk" dan "Politisi Sontoloyo".Â
Saya enggak perlu menjelaskan arti kata atau asal-usul katanya. Pokoknya, kedua jenis politisi itu janganlah kita pilih. Bagaimana mengetahuinya? Lihat saja rekam jejaknya.
Dahulu, begitu marak istilah politisi busuk. Mereka yang dianggap politisi busuk itu, antara lain koruptor, pembunuh, atau hal-hal lainlah yang  berbau kriminal.
Kalau mengambil istilah dari  Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, politisi busuk adalah politisi yang tidak mempunyai karakter kuat.Â
Menurut Siti Zuhro, menjadi pemimpin, nawaitunya bukan berkuasa. Karena negara akan bangkrut kalau politisi hanya struggleofpower.Â
Kalau cuma berkuasa, siapapun bisa. Apalagi menggunakan uang, dana, ujung-ujungnya penjara. Sangat tidak enak kalau tujuh turunan menanggung beban karena OTT (operasi tangkap tangan).Â