Entah sudah berapa lama saya tak lagi mendengar peribahasa "Menang jadi Arang, Kalah jadi Abu". Peribahasa lama yang penuh makna, dan begitu penting untuk selalu jadi pegangan bagi kehidupan kita, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara.
Peribahasa itu baru kembali saya dengar ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengucapkannya di dalam pidato pada Rapat Pleno Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 di BNDCC Nusa Dua, Bali, Jumat (12/10/2018) pagi.
Pidato Jokowi itu menganalogikan kondisi perekonomian dunia saat ini dengan serial film Games of Thrones. Kisah drama fantasi yang digarap oleh David Benioff dan DB Weiss, bercerita perebutan kekuasaan para raja dan bangsawan. Jokowi mengibaratkan film Games of Thrones seperti perang antar-negara maju demi merebut kesuksesan. Namun, tak disadari bahwa akan ada bahaya yang menunggu di tengah perang tersebut.
Polarisasi yang terjadi pasca Pilpres 2014 lalu, disadari atau tidak hingga kini belum juga berakhir. Masyarakat kita masih terbelah menjadi dua kubu yang saling berlawanan. Masyarakat kita yang di masa lalu begitu enggan untuk bicara hal-hal negatif dari saudaranya sendiri. Kini, karena perbedaan pilihan politik, hal yang dahulunya tabu diucapkan, sekarang begitu ringannya disampaikan. Bahkan, bukan sekadar negatif. Lebih parah lagi, kebebasan pendapat yang ada di masyarakat saat ini sudah mengarah  pada fitnah atau hoax, sehingga kebebasan berpendapat yang diatur undang-undang sudah kita perlakukan secara kebablasan.
Bila kita menghayati makna dari peribahasa "Menang jadi Arang, Kalah jadi Abu", Â maka kita akan mengetahui bahwa siapapun itu, baik yang menang maupun kalah pada suatu pertengkaran sama-sama tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, sehingga peribahasa ini perlu jadi perenungan kita bersama. Dalam pidato Presiden Jokowi itu, ada pesan moral yang juga bisa diambil dari Game of Thrones untuk elite politik di Indonesia, yaitu konfrontasi dan perselisihan yang terjadi di di tengah masyarakat, hakikatnya akan membawa penderitaan bagi masyarakat itu sendiri.
"Bahwa kekalahan maupun kemenangan dalam perang selalu hasilnya sama, yaitu dunia porak poranda. Tidak boleh melakukan kerusakan hanya untuk menghasilkan sebuah kemenangan, tidak ada artinya kemenangan yang dirayakan di tengah kehancuran. Itulah pesan moral yang ingin saya sampaikan di saat annual meeting itu," kata Jokowi  saat pidato Sidang Terbuka Senat Universitas Kristen Indonesia (UKI) dalam rangka Lustrum XIII di kampus UKI, Cawang, Jakarta, Senin (15/10/2018).
Menurut Jokowi, kontestasi politik yang terjadi isinya adalah persaingan. Namun, seharusnya persaingan itu dibangun atas fondasi yang tidak saling menjatuhkan, menimbulkan kegaduhan dan permusuhan, kebencian, kedengkian, tidak saling mencela, serta tidak harus saling memfitnah. Kontestasi tidak boleh menimbulkan kerusakan. Dan kontestasi juga tidak boleh mengorbankan pondasi kebangsaan kita. Pondasi sosial dan politik kita, yang berupa stabilitas dan keamanan, toleransi, dan persatuan.
Dengan merayakan perbedaan pilihan secara dewasa dan penuh kematangan, sebagai bangsa kita justru akan makin memperkokoh kebhinekatunggalikaan kita dan persatuan. Dan inilah, yang sebetulnya ingin kita raih dalam kontestasi politik, seperti yang diharapkan Presiden Jokowi.
Sudahkah kita siap menjawab keinginan Sang Presiden? Ataukah kita sama-sama "keras hati" dan memilih salah satu, menjadi arang atau menjadi abu? Jangan sampai itu terjadi!Â