Dalam menjalankan pemerintahan, baik warga negara atau orang-orang yang memegang kekuasaan tentunya berangkat dari sebuah gambaran mengenai bagaimana sistem pemerintahan diberlakukan secara ideal. Gambaran yang dianggap ideal ini pada akhirnya berubah menjadi sebuah pola, atau standar dalam melaksanakan segala bentuk kehidupan bernegara. Penerapan good governance merupakan upaya untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang diharapkan. Sebelum membahas lebih lanjut terkait konsep ini, perlu diperhatikan bahwa governance dan government adalah dua hal yang berbeda. Pemerintahan (governance) sendiri dapat dipahami sebagai suatu proses di mana tugas dan kewenangan diberlakukan, sedangkan pemerintah (government) merupakan orang-orang yang menjalankan tugas dan wewenangnya (Subakti, 2010). Pemahaman ini juga tidak jauh berbeda dengan definisi yang diberikan World Bank mengenai pemerintahan dan pemerintah, lembaga keuangan dunia ini menggambarkan pemerintahan sebagai suatu proses pengambilan dan bagaimana keputusan itu diimplementasikan. Sedangkan pemerintah adalah individu-individu yang menjalankan kekuasaan atas pemerintahan (Kharisma, 2014). Secara sederhana, pemerintah merupakan aktor penggerak yang memiliki kekuasaan, dan pemerintahan adalah proses pengelolaan kekuasaan serta kewenangan yang dimiliki penguasa disalurkan.
Konsep good governance menitikberatkan fokusnya kepada masyarakat, dan berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pemerintahan juga berusaha untuk memenuhi hak-hak rakyat, dan menjalankan pemerintahan serta negara yang berlandaskan asas demokrasi. Sehingga, adanya good governance akan meningkatkan proses demokratisasi yang nantinya akan berdampak pada kehidupan bernegara (Tomuka, 2013). World Bank juga ikut mendefinisikan bagaimana dan apa itu prinsip good governance. Berangkat dari perspektif ekonomi politik, lembaga ini menjelaskan bahwa good governance merupakan kondisi di mana proses penyelenggaraan pemerintahan di antaranya terkait manajemen pembangunan dapat terlaksana dengan baik, bertanggung jawab, serta berdasarkan kepada demokrasi, terjadinya efisensi pasar, alokasi dan dana investasi yang tepat sasaran, terdapat pencegahan tindak korupsi di berbagai bidang, hingga bagaimana legal and political framework diciptakan dalam rangka pertumbuhan aktivitas usaha (Kharisma, 2014).
Di Indonesia sendiri, prinsip good governance dapat dikatakan belum terlaksana dengan baik, bahkan jauh dari kata cukup. Hal ini bukan tanpa sebab, melainkan banyak aspek yang menjadi landasan mengapa  pemerintahan di Indonesia belum memadai untuk disebut "baik", salah satunya masih terdapat banyak pejabat-pejabat korup, dan kasus korupsi yang tidak kunjung usai.Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa World Bank sendiri memasukkan kriteria pencegahan korupsi dan penangangan korupsi sebagai salah satu bentuk dari keterwujudan good governance. Berdasarkan hal ini saja sudah cukup membuktikan bahwa pemerintahan di Indonesia, terlebih lagi dalam aspek ekonomi politik, belum berdasarkan kepada prinsip ini.
Tindak pidana korupsi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, menghambat jalannya pemerintahan yang baik, sehingga hal ini mempersulit keterwujudan masyarakat yang sejahtera. Cukup sulit jika diharuskan mendefinisikan korupsi secara terperinci, karena tiap-tiap individu, bahkan negara-negara di dunia memiliki beragam perspektif yang dapat menjelaskan tindak kejahatan ini. Namun, secara sederhana korupsi dapat dipahami sebagai tindakan yang merugikan negara, lembaga, masyarakat umum untuk mendapatkan kepentingan atau kepuasan pribadi, atau kelompok. World Bank ikut merumuskan pengertian korupsi sebagai "the abuse of public power for private benefit". Hal ini berarti bahwa korupsi dilakukan ketika seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan publik, melakukan kejahatan yang menguntungkan dirinya sendiri. Setidaknya, dari penjelasan singkat ini dapat ditarik secara garis besar bahwa tindakan menunjukkan kecenderungan dilakukan oleh pemegang kekuasaan, dan merugikan banyak pihak.
Korupsi jika didasarkan pada skala, pelaku, dan modus operasi dapat diidentifikasi menjadi dua jenis: grand corruption dan petty corruption. Grand corruption (korupsi besar), biasanya korupsi besar ini dilakukan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan dan jabatan yang tinggi dalam suatu lembaga atau pemerintahan serta pengaruhnya akan berdampak pada berbagai bidang seperti ekonomi dan juga politik. Orang-orang dengan kekuasaan dan jabatan yang tinggi ini biasanya melakukan korupsi karena percaya bahwa kekuatan ekonomi dan kekuatan politik akan memberikan mereka kekuasaan yang lebih meluas, maka dari itu jenis korupsi ini seringkali disebut sebagai corruption by greed. Kemudian, petty corruption atau korupsi kecil adalah jenis tindak korupsi yang biasanya dilakukan oleh pihak yang hanya berpangkat rendah atau bukan seorang petinggi, dan melakukannya karena adanya dorongan kebutuhan hidup yang tidak mencukupi, maka dari itu sering disebut sebagai corruption by need (Susanti, Sarah, & Anindito, 2016). Korupsi tentunya tidak terjadi tanpa sebab, melainkan ada faktor-faktor penyebab yang mendorong tinggi atau rendahnya korupsi di suatu negara. Stevenson (2005) menjelaskan bahwa penyebab korupsi bisa diteliti berdasarkan sudut pandang ekonomi. Ia menjelaskan bahwa negara-negara yang dikategorikan sebagai negara berkembang menunjukkan kecenderungan tingkat korupsi yang lebih tinggi dibandingkan negara maju (Pradiptyo, 2016). Indonesia sebagai negara berkembang, pada tahun 2020 berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tercatat berada di peringkat 102 dari 180 negara di dunia, dengan tingkat kebersihan korupsi hanya mencapai 37 dari 100. IPK ini membuktikan bahwa Indonesia masih rentan dari tindak pidana korupsi terlebih lagi di tahun 2020 bersamaan dengan pandemi COVID-19. Jika dibandingkan dengan Selandia Baru yang merupakan negara maju, dalam IPK di tahun yang sama, berada di peringkat satu dengan nilai kebersihan korupsi 88. Jarak perbandingan Indonesia sebagai negara berkembang dan Selandia Baru sebagai negara maju dalam perkara korupsi membuktikan teori yang disampaikan oleh Stevenson sebelumnya bahwa berdasarkan faktor ekonomi, negara berkembang akan mengalami kasus korupsi yang lebih tinggi. Selain berdasarkan faktor ekonomi, korupsi juga bisa disebabkan karena adanya struktur kelembagaan pemerintah yang lemah. Artinya, kekuasaan serta kewenangan yang dimiliki oleh pejabat-pejabat publik disalahgunakan, yang berdampak pada lemahnya kelembagaan atau instansi. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa faktor-faktor yang disinyalir melatarbelakangi tindakan korupsi ini bukan menjadi alasan bahwa korupsi bisa dianggap wajar. Untuk mewujudkan praktik good governance, langkah yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa korupsi dihapuskan dan meningkatkan hukuman bagi pelaku.Â
Di Indonesia sendiri, tindakan preventif dalam menghadapi korupsi belum dapat membentuk Indonesia sebagai negara bebas koruptor. Sayangnya, kasus korupsi di Indonesia saat ini sepertinya didominasi oleh individu atau kelompok yang duduk di pemerintahan, memiliki kuasa, dan yang seharusnya menjadikan masyarakat sejahtera bukan sebaliknya. Saya akan mencoba memaparkan beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang duduk di pemerintahan sebagai studi kasus dalam tulisan ini. Sejak pandemic COVID-19 terjadi, pemerintah berusaha untuk membantu kondisi perekonomian rakyat dengan memberikan bantuan sosial atau biasa disebut bansos, melalui menteri sosial seharusnya bansos ini bisa meringankan beban yang ditanggung rakyat di masa-masa sulit, namun menteri sosial pada saat itu yaitu Juliari Batubara melakukan tindak korupsi bansos yang diduga mencapai 17 miliar rupiah. Bukan jumlah yang kecil memang, terlebih lagi mengingat kondisi perekonomian Indonesia sedang mengalami penurunan akibat pandemi yang berkepanjangan. Bukan hanya kasus korupsi dana bantuan sosial, banyak kasus lain yang terjadi di Indonesia, salah satunya adalah tindakan penerimaan suap Nurdin Abdullah yang merupakan gubernur non aktif Sulawesi Selatan. Ia diduga menerima suap dari para pebisnis-pebisnis yang nominalnya mencapai 13 miliar rupiah. Suap ini ditujukkan untuk memudahkan proyek, atau memberikan akses proyek kepada perusahan pebisnis atau kontraktor ini. Tindakan suap dan gratifikasi ini tentu menyalahi aturan dan menyalahi tugas serta wewenang seorang gubernur. Suap-menyuap dan tindakan gratifikasi juga merupakan salah satu bentuk dari tindak korupsi, merugikan negara, dan mencoreng nama baik lembaga atau pemerintah.
Karena dalam tulisan ini akan lebih berfokus pada korupsi dalam perspektif ekonomi politik, penulis akan coba memaparkan dampak tindak korupsi terhadap perekonomian, dan juga dampaknya terhadap politik di Indonesia. Korupsi tanpa disadari akan berdampak pada lesunya pertumbuhan ekonomi, hal ini disebabkan adanya tindak korupsi di suatu negara akan melemahkan investasi yang masuk ke negara dalam artian investor tidak tertarik menginvestasikan uangnya kepada negara yang tidak dapat mengelola uangnya dengan baik atau banyak pelaku korupsi. Sebenarnya, terdapat dua aliran yang berbeda dalam memandang dampak korupsi bagi pertumbuhan ekonomi, secara positif dan negatif. GWH (grease the wheel hypothesis) mengemukakan bahwa tindakan korupsi akan memicu pertumbuhan ekonomi (namun hal ini hanya berlaku ketika perilaku korup atau suap disebabkan alur birokrasi yang rumit dari para pejabat atau sistem lembaga yang buruk). Kemudian, munculah SWH (sand the wheel hypothesis) yang menjadi antitesis bagi GWH, pendukung teori ini mengatakan bahwa korupsi dalam bentuk apapun akan menghasilkan dampak negatif pada perekonomian negara (Pradiptyo, 2016). Lesunya pertumbuhan ekonomi ini pada akhirnya akan menjalar ke bidang perekonomian lainnya, seperti penurunan produktivitas, ketimpangan pendapatan, hingga berdampak pada meningkatnya kemiskinan. Seperti yang kita ketahui bahwa kemiskinan diklasifikasikan kepada empat jenis: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural ini disebabkan oleh sistem yang tidak adil (biasanya karena pemerintahan atau kelembagaan yang buruk), sehingga masyarakat menjadi tidak berdaya.
Beralih pada dampak korupsi pada perpolitikan khususnya di Indonesia, sudah bukan rahasia umum bahwa beberapa orang yang ingin mendapatkan posisi tertentu di pemerintahan terkadang menyalahgunakan sumber daya yang dimiliki untuk memastikan ia mendapatkan jabatan tertentu. Misalnya, money politics digunakan untuk memastikan seseorang menang dalam suatu pemilihan, atau menyuap salah satu pejabat publik agar diberikan kesempatan untuk bisa bergabung, dan sebagainya. Tindakan suap-menyuap, money politics, dan korupsi ini secara tidak langsung akan berdampak pada politik, pemerintah, dan pemerintahan di Indonesia. Bayangkan bagaimana jika orang-orang yang duduk di kursi pemerintah adalah orang-orang yang korup, tentunya praktik good governance yang telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya menjadi angan-angan belaka. Belum lagi jika masyarakat menolak untuk memberi legitimasi terhadap penguasa korup, tentu saja akan menimbulkan tendensi pertentangan antara penguasa dan publik yang menyebabkan instabilitas politik, keraguan akan otoritas pemerintah, bahkan menodai demokrasi (Setiadi, 2018).
Mengingat korupsi memberikan kerugian di berbagai bidang, diperlukan upaya untuk menekan tindak korupsi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, korupsi yang dilakukan di pemerintahan disebabkan oleh pejabat-pejabat korup, sistem kelembagaan yang buruk, dan rumitnya birokrasi yang menyebabkan peningkatan korupsi. Maka dari itu, dari sekian banyak upaya yang dilakukan untuk menghapus korupsi dan mewujudkan praktik good governance, melakukan restrukturisasi lembaga, atau melakukan reformasi birokrasi merupakan tindakan yang dapat dilakukan. Reformasi birokrasi sepertinya bukan lagi hal yang asing, mengingat reformasi birokrasi memang erat kaitannya dalam merombak praktik KKN. Sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 menyatakan bahwa "Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah" (Rusfiana & Supriatna, 2021). Berdasarkan UU tersebut, reformasi birokrasi dianggap sebagai jalan untuk membawa pemerintahan Indonesia menjadi lebih baik dan menciptakan sumber daya yang unggul. Dengan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa reformasi birokrasi berarti proses pembaharuan, penataan ulang, dan penyempurnaan birokrasi agar lebih baik, efisien, efektif, dengan sumber daya yang profesional, dan produktif, dalam rangka menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Dengan diberlakukannya reformasi birokrasi di dalam pemerintahan, pejabat-pejabat korup, atau alur birokrasi yang rumit akan berkurang. Sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa terkadang karena alur birokrasi yang rumit, tindakan suap-menyuap pejabat pemerintah sering dilakukan untuk memudahkan pekerjaan atau proyek-proyek tertentu. Maka dari itu, ketika birokrasi dibenah kembali akan meminimalisir tindak suap-menyuap bahkan membantu menghapuskan korupsi. Untuk memahami lebih dalam mengapa birokrasi dan korupsi berkaitan, penulis akan menganalogikan dengan studi kasus korupsi bansos. Biasanya dalam menyalurkan bantuan sosial ke masyarakat, bantuan yang berasal dari pemerintah akan melalui tangan-tangan lain, dengan tingkat paling rendah misal RT/RW sebelum sampai kepada masyarakat. Bukan lagi rahasia bahwa seringkali setiap melewati alur-alur tertentu, bantuan tersebut akan dipotong untuk alasan "uang jalan", sehingga jumlah yang seharusnya diterima masyarakat menjadi tidak sesuai, hal ini juga terjadi pada kasus korupsi bansos yang dilakukan Juliari Batubara. Sehingga ketika birokrasi mengalami restrukturisasi, atau penyempurnaan menjadi lebih efisien atau mengganti sumber daya manusia menjadi orang-orang yang berintegritas dan professional, tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat dan negara dalam kasus ini tindak korupsi dapat dihapuskan.
Berbicara mengenai reformasi birokrasi sebagai upaya penanganan korupsi, akan berusaha untuk menstabilkan pemerintah dan pemerintahan, membuka peluang bagi partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan, dan juga pembuatan kebijakan. Selain itu, dengan reformasi birokrasi pula kepercayaan masyarakat akan pemerintah semakin meningkat. Public trust building ini pula yang akan menjadi dasar bagi manajemen pemerintahan yang baik. Kembali menyinggung perihal good governance, Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengatakan bahwa pemerintahan yang baik berdiri pada sembilan prinsip utama, di antaranya: partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsif, konsensus, kesetaraan dan keadilan, akuntabilitas, efektivitas dan efisensi, serta visi strategis. Memang jika melihat lebih jauh, prinsip good governance akan membutuhkan proses yang panjang dan rumit. Reformasi birokrasi hanyalah salah satu dari sekian banyak upaya untuk menjadikan pemerintahan sesuai dengan konsep ideal dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.Â