Aku ingat diawal pertemuan kita dulu. Saat aku terpisah dari rombongan kecilku di festival di tepi sungai Nam. Barangkali bahasa tubuh dan paras ku benar-benar mengabarkan kepanikan yang kusembunyikan, sehingga tertangkap oleh mu yang berjarak belasan meter dari ku.
Sungguh, jika tak ku lihat kau sewarna , selogat bahasa dengan ku, hampir dipastikan kau tak akan dapat perhatianku secuil juga. Telah jadi kebiasaanku seiiring bertambahnya usia, untuk mengabaikan sapa yang kucurigai syarat pamrih. Tetapi sapa mu dimalam itu, meski aroma menggoda jelas menguar seiring aroma soju dari mulut mu, memberi ku firasat kau tidaklah seberbahaya itu.
Dan akhirnya kita pun duduk bersisian di bangku kayu yang menghadap langsung ke tengah arena festival. Kau dengan soju yang tinggal setengah tersisa dalam botol dan aku dengan secangkir kopi hitam hangat. Perpisahan ku dengan rombongan teman-temanku tidak lagi mengkhawatirkanku. Biarkan saja, aku berhak menikmati malam ini dengan cara ku sendiri, pikir ku.
Kita pun mulai berbagi kisah. Diawali dengan alasan keberadaan mu di kota ini yang berjarak ribuan kilometer dari kota kelahiranmu. Kau sebut itu sebagai pengembaraan tanpa tujuan, sedangkan aku menamainya sebagai perburuan Won. Kita pun tergelak bersama, menyadari bahwa kamuflase yang kau ciptakan sama sekali tidak mengaburkan alasan sebenarnya keberadaan mu di sini.
Ada jeda yang setara dengan tegukan setengah cangkir besar kopi sebelum aku memulai kisahku. Sebenarnya aku enggan bercerita, bukan karena kau masih terhitung asing , namun ada rasa malas untuk sekedar mengingat mimpi-mimpi yang buyar meski sang pemberi mimpi itu belumlah kemana-mana dari hidupku.
" Aku bahagia sekaligus takut ketika bersamanya. Akan seperti apakah aku jika kebersamaan kami kini tak berujung pada kebersamaan bermahkota janji sehidup semati ?"
Kau diam menyimak hingga cerita ku yang diakhiri pertanyaan retoris. Aku menerka diam mu yang tampaknya menyetujui bahwa romansa yang kujalani berpotensi untuk berakhir tragis.
" Tampaknya kau terjebak dalam ketidakpastian yang menjemukan." Katamu kemudian.
" Tetapi prosesnya tidaklah sesederhana itu. Kau tahu, jika kau sudah terlalu lama sakit, sakit itu menjadi tidak terasa lagi karena kau memasuki fase hidup menjemukan, sehingga kau tidak ingin apapun lagi ."
Kau menghela nafas dalam diam. Kali ini kita tidak tergelak bersama meski ada hal yang kita lihat dari sudut pandang yang sama. Daun-daun renta musim gugur jatuh beberapa terserak di bawah kaki kita. Semilir angin yang melambaikan gugusan anak rambut ku menyadarkan kita bahwa malam telah bergulir cepat menuju pertengahan. Keramaian festival telah surut walau belum hilang sama sekali.
Aku tidak menolak ketika kau ingin mengantarkan aku ke apartemen tempat tingal ku.
"Yakinlah, akan ada waktunya kau bahagia, karena kau sungguh layak mendapatkannya."
Katamu seraya menggenggam tanganku. Aku tertegun menatap mata mu yang penuh keyakinan akan datangnya kebahagiaan itu.
Sesungguhnya keyakinan itu pula yang menjadi alasanku menjalin percintaan dengan wajah-wajah yang sebatas datang untuk kemudian pergi tidak kembali. Keyakinan  yang dulu pernah menjadi bunga mimpiku dan sekarang gugur bersamaan datangnya musim itu.
Aku hanya diam dan berterima kasih untukmu atas kebersamaan kita malam itu. Tak tega mematahkan keyakinan mu yang kini tidak aku miliki lagi. Dari kaca jendela kamar apartemenku, tampak daun-daun yang gugur semakin deras diterpa angin awal musim. Tidak ada yang tahu, bahwa ada air mata tertahan sejak lama yang mengiringinya.
Jakarta, August 11, 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H