Aku putus hubungan lagi dari seorang laki-laki yang bahunya pernah kuharapkan jadi sandaran hidupku. 4 bulan yang melelahkan.
Sarat dengan pengharapan sekaligus kesabaran luar biasa menghadapi kelabilan sikapnya.
Sungguh, aslinya aku ini bukan penyabar. Justeru di lelaki terdahulu, dialah yang lebih banyak bersabar untuk aku. Berbeda dengan yang terakhir ini, aku bersedia meninggikan toleransi aku terhadap kekurangannya, lapang dada dengan kata-kata kasar yang kerap dilontarkannya hanya karena sedikit saja tersinggung, mendatangi dia dan bukannya aku yang didatangi.
Aku bodoh ya?
Mungkin.
Kemarin alasan ku mau melakukan itu semua adalah selain karena cinta, Aku juga mau memperbaiki kesalahanku di hubungan terdahulu dengan menjadi wanita yang lebih baik yang mampu lebih sabar dan tabah.
4 bulan yang melelahkan.
Dimana perasaan sakit karena merasa tidak dicintai kontra dengan rasa iba untuk tetap mendampinginya dan menjadi tempat menumpahkan semua kepenatan dunia kerjanya yang keras.
4 bulan yang melelahkan,
di mana ia tak kunjung menampakan aku di keluarganya atau sekedar mengantarku ke rumah seusai kami bertemu.
4 bulan yang melelahkan.
Allah tahu betapa berat masa itu kujalani. Dan ketakutan terhadap masa depan bila ternyata dialah yang menjadi jodohku.
Semuanya kini sudah berakhir. Selesai
Luka tentu saja ada.
Namun selebihnya aku merasa lega.
Allah tengah menyayangiku. Memisahkan aku dari dia yang mungkin tak akan mampu menjadi sahabat dalam urusan agama, dunia dan akhirat sebagaimana harapanku.
Semoga Allah segera memberikan aku sebaik-baik pengganti dan memulihkan sakit ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H