Mohon tunggu...
Syair Senja
Syair Senja Mohon Tunggu... -

fragile imaginative

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Aryo Pulang

29 Juli 2012   14:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:28 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13435733591201716037

Aryo mengepalkan tangannya lagi. Otot rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat.

Berkali-kali ia menghembuskan nafas, berat. Tubuhnya yang berbalut perban karena terluka di sana-sini, nyaris tak dapat rasakan lagi nyeri dan pedihnya. Ia sendirian di koridor itu.

Sendiri. Sulit kenyataan itu ia percaya. Tidak sampai tiga jam lalu ia masuk ke rumah sakit ini dengan tergesa, dihantar oleh Doni dan Ipay yang tergopoh-gopoh bersama dua orang perawat, mengangkat tubuh Giri yang basah kuyup bersimbah darah.

Aryo sendiri menderita cedera , meskipun tak sampai membuatnya tak sadarkan diri. Tapi bukan cedera itu yang membuatnya risau. Pikirannya tak lepas dari Giri yang kini berada di kamar di ujung bangunan rumah sakit ini, kamar jenazah.

Sesal dan kesal tidak bisa lagi ia bedakan. Keduanya memenuhi rongga dada dan kepala, begitu menyesakkan, karena ia sadar , tidak ada orang yang patut disalahkan atas kematian Giri selain dirinya. Tidak pula Doni dan Ipay, sahabat mereka yang saat ini juga kerepotan kembali ke lokasi kejadian, membersihkan TKP sebelum bukti-bukti aksi terlarang mereka ditemukan tim patroli polisi.

“Bodoh!”

Hentaknya keras.

Kalau saja ia tak mengajak ketiga temannya untuk adu balap motor dengan geng motor yang terkenal urakan di kotanya, di ruas jalan tol sepi yang belum selesai dibangun itu. Kalau saja motor Giri tidak mengalami slip roda, yang membuatnya terpelanting jatuh dan menjadi sasaran kemarahan geng motor itu yang kalap karena kalah taruhan. Kalau saja Liana tidak terlalu menuntut pernikahan secepat kilat, tentu ia tidak akan sekalut itu memilih keluyuran di tengah malam mengajak teman-temannya mabuk dan adu balap motor.

Apa yang harus ia katakan kepada orang tua Giri? Bagaimana cara mengatakannya? Air mata merebak di pelupuk matanya membayangkan wajah kedua orang tua Giri yang telah renta, yang ia telah anggap sebagai orang tuanya sendiri. Bahkan yang lebih ia hormati daripada orang tua kandungnya.

Wajah-wajah itu, tidak sanggup Aryo bayangkan duka cita yang akan sangat dalam tergurat di sana.

Giri yang mereka banggakan, yang telah dua tahun, genap seusai ia menamatkan SMU-nya resmi menjadi tulang punggung keluarga. Giri yang memilih bekerja serabutan demi membiayai kebutuhan hidup keluarga dan sekolah dua orang adik perempuannya, Nina dan Tari, daripada melanjutkan kuliah.

“ Aku akan tetap kuliah Yo, tapi nanti, setelah Nina dan Tari selesai SMU-nya. Sementara itu, aku mau kerja. Kasihan Bapak ku Yo, sudah sakit-sakitan , tidak kuat kerja berat lagi seperti dulu, apalagi ibu….”

Masih jelas terngiang jawaban Giri ketika ia menyesalkan keputusannya untuk tidak langsung mendaftarkan diri ke perguruan tinggi, padahal ada beasiswa penuh menantinya dari sebuah perusahaan ternama.

Aryo menggelengkan kepalanya berkali-kali.

Tidak, ia tidak sanggup untuk mengatakannya sekarang.

Secepat kilat Aryo berlari meninggalkan rumah sakit, setelah membereskan administrasi dan seluruh biaya.

Aryo melingkari satu tanggal di bulan Maret. Lama ia memandangi kalender meja seolah ada yang luar biasa tertera di sana.

Ya, hari ini, tepat setahun meninggalnya Giri. Artinya, tepat setahun juga ia telah lari sebagai seorang pengecut. Menjalani hidup, bekerja, tampil perlente dalam keseharian sambil mengumpulkan keberanian untuk kembali ke rumah Giri, bersimpuh di hadapan orang tuanya, memohon ampunan mereka.

Belum lagi keberanian itu membulat, Ipay datang membawa kabar tentang orang tua Giri.

“Bapak nya Giri sakit parah Yo. Makanya gue ke tempat lu sekarang, bawa pesan dari ibunya Giri untuk datang tengok Bapaknya.”

“ Bukannya engga mau Pay, Cuma gua masih merasa bersalah banget sama mereka. Gara-gara gua kan, Giri tewas, padahal itu anak udah jadi andalan keluarga.”

“ Ibunya Giri juga kemarin sempat tanya sama gua, apa lu setiap bulan kirimin mereka uang lewat rekeningnya Giri?”

Aryo menatap Ipay sekilas. Lirih ia menjawab.

“ Iya. Gua takut aja, sekolah Nina sama Tari berantakan sepeninggal Giri.”

“ Besar juga pengorbanan lu buat mereka. Liana engga protes?”

“ Gua udah bubar sama Liana. Pusing. Kebanyakan tuntutan. Coba kalau malam itu gua engga bertengkar sama dia soal kawin…ah, udahlah males gua bahasnya.”

“Terserah lu aja Yo. Tapi gua ingatkan sekali lagi, supaya lu datang menemui keluarga Giri. Minta maaf atau apa keq. Apalagi juga lu sempat tinggal di rumah mereka kan, waktu lu minggat dari rumah lu yang segede setan? Nah, lu sendiri, udah baikan sama bokap?”

“Belum. Gua belum ketemu Bokap gua lagi.”

Keduanya terdiam di sore yang teduh itu. Angin semilir membuyarkan asap rokok yang terkepul dari bibir mereka. Taman kota sore hari tidak terlalu ramai. Hujan sepanjang siang tadi tampaknya membuat orang-orang sekitar malas mendatanginya, apalagi banyak genangan air di sekitar taman.

“ Menurut lu, keluarga Giri masih marah engga sama gua?”

“ Lu akan tau jawabannya kalo lu sendiri ketemu mereka langsung.”

Aryo duduk memeluk lutut di teras kamar kostnya yang terletak di lantai dua. Gerimis halus, turun digelapnya malam yang telah larut. Ia masih memikirkan saran Ipay untuk mendatangi keluarga Giri. Setahun sudah, sewajarnya itu cukup untuk memudarkan amarah jika ternyata selama ini, tanpa berani ia hadapi, mereka menyimpan perasaan itu terhadapnya.

Aryo memejamkan mata, yakin bahwa inilah saatnya untuk menuntaskan hutang masa lalu dengan keluarga Giri.

Membayangkan keluarga Giri, membuat Aryo teringat pada Papa dan Mamanya yang telah lebih lama ia tinggalkan. Jauh di sudut hatinya terbersit tanya, apakah waktu yang telah terentang sekian lama sejak kepergiannya, telah juga memudarkan kekerasan hati Papanya memaksakan kehendak ?

Seluruh persendian Aryo terasa lepas satu persatu, membuatnya lemas, ketika di hadapannya berdiri sesosok wanita tua yang selama setahun belakangan , kerap memenuhi kepalanya.

“ Maafkan Aryo buuu…!”

Spontan ia bersimpuh, memeluk sepasang kaki berbalut jarit tua yang telah tampak lusuh.

Tidak ada kata-kata makian, seperti yang ditunggu Aryo diantara isak tangisnya.

Sebaliknya, ada jemari yang menyentuh punggungnya dengan lembut. Sentuhan di punggung yang tidak ia ingat pernah ia terima dari orang tuanya sendiri.

“ Sudah Yo, jangan menangis begitu! Kamusudah lama kami maafkan, bahkan tanpa kiriman uangmu yang setiap bulan.”

“Aryo menyesal bu. Udah bikin Bapak, Ibu dan adik-adik susah, padahal kalian sudah sangat baik sama Aryo…”

“ Kami sudah ikhlas soal meninggalnya Giri. Justeru, bapak dan ibu jadi bingung, kenapa kamu ikut-ikutan pergi dari kami? Padahal, kamu sudah kami anggap sebagai anak sendiri. Rasanya seperti kehilangan dua orang anak sekaligus.”

Aryo tak berkedip menatap wajah wanita tua yang dihormatinya itu. Tidak menyangka bukan hanya maaf yang mereka berikan , tetapi juga penerimaan yang begitu dalam terhadap dirinya.

“ Ya Allah bu, terbuat dari apa hati kalian? Saya sungguh merasa tidak layak menerima kebaikan Bapak dan Ibu.”

“ Jangan begitu Yo. Sudah, lebih baik kamu temui Bapak. Dia yang lebih kangen sama kamu.”

Sambil tersenyum, Bu Suni membimbing Aryo ke kamar tempat suaminya terbaring sakit.

“ Pak, coba lihat siapa yang datang?”

Lelaki tua itu mengerjapkan matanya beberapa kali, menatap Sosok Aryo yang berdiri tepat di hadapannya.

“Oalah… Yo! Darimana saja kamu…?”

Tidak sanggup berkata-kata, Aryo memeluk tubuh tua Pak Suni dengan penuh rasa haru. Kedua manusia yang tidak sedarah sedaging itupun larut dalam kerinduan yang sama.

Pak Suni menyeruput teh panasnya. Menurut Bu Suni , hari ini adalah pertama kalinya Pak Suni terlihat segar setelah berbulan-bulan terbaring lemah di pembaringan. Itu sebabnya, ia mengijinkan suaminya mengobrol dengan Aryo di teras rumah mereka yang lapang, menghadap langsung ke jalan yang telah sepi.

“ Jadi, semenjak kamu tinggal di rumah ini pertama kali dulu, sampai hari ini , kamu belum ketemu sama Papa, Mama mu?”

“Belum Pak. Dan kelihatannya juga mereka sudah tidak ingat sama saya. Sepertinya tidak masalah bagi mereka, saya ini masih hidup atau sudah mati.”

“ Yo, hati-hati dengan bicaramu! Aku ini seorang Bapak yang sudah pernah kehilangan anak lelaki, jadi tau betul sedihnya ditinggal anak lelakinya. “

Pak Suni menatap tajam ke arah Aryo.Terlihat gusar mendengar perkataan Aryo.

“ Mereka tidak pernah mencari saya pak.”

Lirih Aryo berkata. Matanya menerawang jauh. Ada kerinduan yang diam-diam terpendar di matanya.

“Kamu lah yang harus mendatangi kembali, rumah yang dulu kamu tinggalkan. Ketika kamu di sana, kamu akan lihat, ada keluarga yang telah lama menunggumu pulang.”

Aryo terdiam. Kalau mau jujur, sudah lama ia memikirkan rumah dan keluarganya. Perdebatan sore itu dengan Papanya menjadi tidak penting lagi untuk ditukar dengan keringnya hidup sendirian.

Aryo menatap Pak Suni dengan hikmat, yang telah menguatkannya untuk pulang.

Ya, Ia akan pulang.

Mencoba bernegosiasi dengan keinginan Papanya agar ia meneruskan usaha keluarga, sedangkan Aryo punya ambisi untuk membangun kerajaan bisnisnya sendiri dari nol.

Termasuk menolak semua fasilitas dan kemudahan yang bisa diberikan oleh kolega-kolega ayahnya di pemerintahan.

Ia pernah terang-terangan mengkritik gaya bisnis ayahnya yang jauh dari kejujuran.

Dan inilah yg menjadi sumber pertengkaran mereka dulu.

Aryo tidak tahu pasti bagaimana sikap Ayahnya saat ini. Namun ia sungguh berharap Pak Suni benar, bahwa ada keluarga yang telah menunggunya pulang, ketika ia kembali ke rumah. Diantara cerita dan nasihat yang bergulir dari Pak Suni, diam-diam Aryo berdoa, bahwa rindu yang akan dibawanya nanti, bersambut hangat di rumahnya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun