Di era globalisasi, hubungan antarnegara menjadi semakin umum. Interaksi antarbudaya tidak hanya memengaruhi aspek ekonomi dan sosial, tetapi juga berdampak pada hubungan pribadi, seperti perkawinan campuran. Perkawinan campuran merupakan pernikahan antara dua orang yang patuh di bawah ketentuan hukum yang berbeda, disebabkan perbedaan kewarganegaraan dimana salah satu pihak merupakan WNI. Di Indonesia, perkawinan campuran sudah eksis sejak masa kolonialisme dan terus berkembang hingga saat ini dan akan terus berkembang seiring majunya teknologi dan maraknya globalisasi.
Dasar yang menjadi hukum perkawinan campuran di Indonesia yakni UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan beberapa undang-undang yang mendukung terjadinya pernikahan dari dua latar belakang kebangsaan yang berbeda. Tentu saja hal ini diperbolehkan dengan syarat dan ketentuan yang tertera di undang-undang tersebut. Persyaratan ini bertujuan untuk memastikan bahwa perkawinan tersebut sah menurut hukum Indonesia dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ketertiban umum di negara ini.
Meskipun diperbolehkan, hubungan perkawinan campuran ini menghadapi tantangan yang cukup besar terkait hukum kewarganegaraan. Persoalan status kewarganegaraan anak, hak waris, dan izin tinggal bagi pasangan WNA menjadi isu kompleks yang sering dihadapi oleh pasangan dalam perkawinan campuran. Bagi pasangan yang ingin menjalani kehidupan stabil di Indonesia, mereka perlu bersiap menghadapi prosedur hukum yang kadang kurang mendukung bagi keluarga multinasional.
Dalam sistem hukum kewarganegaraan indonesia, undang-undang yang mengatur tentang perkawinan campuran dianggap masih memberi kendala bagi pasangan lintas negara. Sebagai contoh, seorang WNI yang menikah dengan WNA harus memperpanjang izin tinggal pasangannya setiap satu atau lima tahun dengan biaya yang cukup mahal. Bagi WNI, hal ini bisa menjadi beban finansial sekaligus tugas administratif yang melelahkan. Selain itu, jika pernikahan tersebut menghasilkan anak, status kewarganegaraan anak juga menambah kerumitan untuk pasangan perkawinan campuran itu sendiri.
Dilansir dari CNN Indonesia, dari jangka waktu 2022 sampai 2024, sekitar kurang lebih dari 300 anak di Surabaya, Jawa Timur terancam akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianya apabila tidak segera memilih hak kewarganegaraan. Sejauh ini, Kantor Imigrasi Surabaya telah mengeluarkan 36 SKIM (Surat Keterangan Keimigrasian) dari tahun 2022 hingga 2024 untuk pendaftaran anak-anak hasil perkawinan campuran yang memiliki kewarganegaraan ganda. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, anak-anak dari perkawinan campuran memiliki hak untuk memilih kewarganegaraan mereka hingga usia 18 tahun. Kebijakan ini merupakan langkah maju, namun masih menyulitkan bagi anak-anak yang ingin memiliki dua kewarganegaraan secara permanen. Kebijakan ini bisa membuat anak-anak dari pasangan lintas negara merasa terputus dari salah satu bagian identitas mereka. Dengan harus memilih salah satu kewarganegaraan saat dewasa, mereka mungkin merasa kehilangan koneksi dengan budaya, keluarga, atau asal-usul dari salah satu negara orang tua mereka. Sehingga hal ini memunculkan dilema bagi anak-anak keturunan campuran yang masih berkewarganegaraan ganda.
Pemilihan kewarganegaraan seringkali menjadi beban dan dilema bagi sebagian anak. Masalah kewarganegaraan pada anak hasil perkawinan campuran merupakan isu penting yang memerlukan pertimbangan matang, karena setiap kewarganegaraan membawa nilai-nilai yang membentuk identitas diri anak. Jika anak dari perkawinan campuran hanya memilih salah satu kewarganegaraan, banyak nilai penting yang akan hilang, padahal nilai-nilai tersebut adalah warisan dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan asing. Dilema permasalahan hak kewarganegaraan ini bisa mengakibatkan krisis identitas yang memengaruhi rasa keterikatan mereka dengan negara asal orang tua, yang pada akhirnya berdampak pada proses integrasi sosial dan emosional mereka.Â
Batas usia yang ditetapkan untuk memilih hak kewarganegaraan juga harus dipertimbangkan kembali mengingat bahwa kewarganegaraan merupakan hak fundamental yang dimiliki setiap individu, termasuk anak-anak. Menetapkan batas usia 18 tahun untuk memilih kewarganegaraan bisa memberikan kesan bahwa anak-anak tersebut "terpaksa" menentukan identitas nasional mereka pada usia yang seharusnya lebih fokus pada pendidikan dan pengembangan diri, bukan pada keputusan kewarganegaraan. Memilih kewarganegaraan pada usia 18 tahun sering kali menjadi beban bagi anak yang seharusnya dapat menikmati hak mereka tanpa terjebak dalam prosedur administrasi negara yang kompleks. Keputusan ini juga dapat menjadi sumber kebingungan, terutama bagi mereka yang tumbuh di lingkungan multikultural atau di negara dengan budaya yang berbeda dari orang tua mereka. Pada usia ini, mereka mungkin merasa terputus dari ikatan emosional dengan salah satu negara karena keterbatasan informasi atau pengalaman hidup.
Di era globalisasi yang serba maju ini, kewarganegaraan ganda (dwi kewarganegaraan) sangat memudahkan individu untuk mengakses informasi yang lebih luas meliputi pekerjaan, pendidikan dan hak hak lainnya di negeri asal orang tuanya. Hal ini tentu saja membuka peluang bagi individu untuk mengembangkan potensinya di dunia internasional. Dan bagi Indonesia sendiri, penerapan kewarganegaraan ganda sebenarnya bisa menjadi sarana diplomasi yang strategis dengan negara-negara lain. Dengan memungkinkan individu memiliki dua kewarganegaraan, Indonesia dapat memperkuat hubungan internasional dan memfasilitasi pertukaran budaya, ekonomi, serta kerjasama politik dengan berbagai negara.
Dengan demikian, Indonesia perlu memperbarui kebijakan kewarganegaraan agar lebih sesuai dengan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Anak-anak hasil perkawinan campuran memiliki potensi besar untuk mempererat hubungan Indonesia dengan negara lain serta memperkaya keberagaman budaya di dalam negeri. Oleh karena itu, Indonesia perlu membuat kebijakan yang lebih progresif dan mendukung kewarganegaraan ganda, yang memungkinkan anak-anak ini tetap terhubung dengan kedua negara orang tua mereka tanpa harus memilih satu kewarganegaraan saja. Kebijakan ini akan membantu mereka menjaga identitas kultural mereka tanpa kehilangan hubungan dengan salah satu negara asal orang tua mereka.
Selain itu, Indonesia juga perlu menyederhanakan proses administratif yang terkait dengan kewarganegaraan untuk mengurangi beban bagi pasangan yang memiliki kewarganegaraan ganda dan anak-anak mereka. Pemberian informasi yang jelas tentang hak kewarganegaraan akan membantu masyarakat memahami pilihan yang mereka miliki, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial, pendidikan, dan politik mereka di masa depan. Dengan membuka kemungkinan kewarganegaraan ganda, Indonesia tidak hanya akan memperkuat hubungan dengan negara lain, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan siap menghadapi tantangan global. Kebijakan ini juga akan mempermudah integrasi anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan multikultural, sehingga mereka dapat merasa diterima di masyarakat yang lebih terbuka dan menghargai keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H