Saya adalah seorang perantauan. Dari salah satu daerah berhawa sejuk di bilangan Jawa Tengah. Karena tuntutan perusahaan tempat dimana saya bekerja, saya ditempatkan di ibu kota negara. Yups, Jakarta. Pusatnya Indonesia.
Bagi kami dahulu, orang di daerah sana, mendengar nama Jakarta seketika itu pula terbesit banyak hal buruk. Ruwet. Macet. Kotor dan Mahal. Pokoknya yang buruk-buruk deh. Bayangkan saja, setiap menonton televisi atau membaca koran atau browsing di internet; sebagian besar berita itu yang dijejali dalam pikiran kita. Kita, orang di daerah sana.
Setidaknya terdapat dua hal menarik mencermati kehidupan di Jakarta. Dua hal yang hampir punah di Jakarta. Mahalnya senyuman serta budaya bersih yang benar-benar langka di Jakarta.
Kini sudah hampir tiga tahun menjelajahi Ibu kota. Kemacetan, ya, memang parah; merupakan penyakit Jakarta yang sudah menahun tampaknya. Keruwetan serta hawa yang berbeda dengan tempat tinggal dahulu, betul; memang berbeda. Sedangkan apabila disandingkan dengan kata mahal. Sebenarnya, Jakarta tak mahal-mahal amat.
Memang menurut survei dari BPS mengenai daftar kota dengan Indek Harga Konsumen (IHK) tertinggi, Jakarta menempati urutan pertama dengan angka Rp 7,5 juta/bulan. Namun, apabila disiasati hidup di Jakarta bisa saja dibawah angka itu.
Masih banyak kok, penjual makanan dengan harga yang wajar. Harga yang tidak berbeda jauh dengan harga makanan di daerah sana. Dengan modal duapuluh ribu, masih bisa mendapatkan makanan yang bergizi sekaligus mengenyangkan perut.
Moda untuk transportasi juga kini di Jakarta terbilang murah. Apalagi dengan aplikasi daring, aplikasi online, semakin menambah mudah serta murah transportasi di Jakarta. Pun, biaya kos atau tempat tinggal. Memang sedikit lebih mahal dibandingkan di daerah. Tapi masih wajar apabila menilik harga tanah serta bangunan disana.
Namun, ada satu hal yang amat mahal di Jakarta. Bahkan uang pun tidak mampu untuk membelinya. Berapa pun nominalnya. Apa itu? Senyuman tulus, senyuman kejujuran.
Dahulu di daerah saya sana, meskipun tidak mengenal siapa orang di depan saya. Ketika melewati orang tersebut. Wajah saling berpapasan. Selalu senyuman tersungging. Mereka pun akan membalas senyuman dengan ramah. Lalu bertanya, “ada apa mas? Ada yang bisa dibantu?”, atau membalas dengan sapaan “Selamat siang/sore.” Ramah betul. Tulus betul. Kehangatan dalam keseharian benar-benar terasa, Ah, itu yang salah satu yang dirindukan. Itulah kehidupan yang diharapkan.
Karena saya orang daerah saya pun berusaha menerapkan demikian. Menjaga tradisi Indonesia, the smiling country. Di Jakarta, ketika wajah berpapasan, selalu senyum saya usahakan tersunggingkan. Namun, apa yang hasilnya? Wajah penuh kebingungan. Wajah yang menyiratkan keanehan. Wajah dingin tanpa ekspersi. Wajah mengrenyitkan dahi. Bahkan ada yang memelototkan matanya ketika senyum saya pasang di bibir (dikira menghina mungkin, hehe).