Liburan akhir tahun adalah saat yang selalu ditunggu keluarga kami. Setelah setahun sibuk dengan pekerjaan dan sekolah, ini adalah waktu untuk kembali menyatu. Tahun ini, kami memutuskan untuk menghabiskan liburan di sebuah desa kecil bernama Lembah Kenangan, yang terkenal dengan pemandangannya yang menakjubkan.
Pagi itu, kami berangkat dengan mobil. Ayah mengemudi sambil sesekali melirik peta digital di ponselnya. Ibu duduk di sampingnya, sibuk dengan daftar aktivitas yang telah ia susun untuk liburan ini. Adik bungsuku, Dika, yang baru berusia lima tahun, terus berseru kegirangan setiap kali melihat sesuatu yang menarik di sepanjang perjalanan. Aku, sebagai anak sulung, duduk di belakang, menikmati musik melalui earphone sambil sesekali ikut bergabung dalam percakapan keluarga.
Butuh waktu sekitar lima jam untuk sampai di Lembah Kenangan. Begitu kami tiba, udara segar yang menyeruak menyambut dengan ramah. Suara gemericik sungai dan kicauan burung menciptakan melodi alami yang membuat kami semua tersenyum. Kami menginap di sebuah rumah kayu yang sederhana namun nyaman. Rumah itu berdiri di tengah hamparan hijau, dikelilingi bukit-bukit yang seolah memeluk kami dengan kehangatan.
Hari pertama, kami memutuskan untuk menjelajahi sekitar. Ayah membawa kami ke sungai kecil tak jauh dari rumah. Dika langsung melepas sepatu dan mencelupkan kakinya ke air yang jernih. "Dingin sekali!" teriaknya sambil tertawa. Aku dan ayah membantu membuat rakit sederhana dari bambu yang ditemukan di sekitar, sementara ibu duduk di tepi sungai, memotret momen-momen indah kami. Senyumnya begitu lebar, menunjukkan betapa bahagianya ia melihat keluarganya berkumpul.
Sore harinya, kami mendaki bukit kecil di belakang rumah. Perjalanan tidak terlalu sulit, bahkan untuk Dika yang kakinya kecil namun penuh semangat. Saat kami mencapai puncak, pemandangan matahari terbenam yang memukau membuat kami semua terpana. Langit berwarna jingga dengan semburat merah, memantul di permukaan danau di kejauhan. Ayah mengeluarkan termos berisi teh hangat, dan kami duduk bersama menikmati minuman itu sambil berbagi cerita.
Malamnya, kami berkumpul di depan perapian. Ibu memasak makanan sederhana, namun rasanya istimewa karena dimasak dengan cinta. Setelah makan malam, ayah mengeluarkan gitar tua yang selalu ia bawa dalam perjalanan. Ia memainkan lagu-lagu favorit kami, sementara aku dan ibu menyanyi bersama. Dika, yang sudah mulai mengantuk, bersandar di pangkuan ibu sambil memegangi boneka kesayangannya.
Hari kedua adalah puncak dari liburan kami. Pagi-pagi sekali, kami pergi ke pasar tradisional untuk membeli bahan makanan segar. Aku membantu ibu memilih sayuran dan buah-buahan, sementara ayah mengobrol dengan penduduk setempat tentang tempat-tempat menarik yang bisa kami kunjungi. Kami kemudian menghabiskan waktu di ladang bunga milik seorang petani lokal. Dika sangat senang berlari-larian di antara bunga-bunga berwarna-warni, sementara aku sibuk mengambil foto untuk diunggah ke media sosial.
Ketika sore tiba, kami kembali ke rumah dan mempersiapkan barbeque di halaman. Ayah menjadi koki utama, dengan aku sebagai asisten. Aroma daging panggang dan jagung bakar memenuhi udara, membuat perut kami semua keroncongan. Makan malam itu berlangsung dengan penuh canda tawa. Kami saling menceritakan momen favorit selama dua hari terakhir, dan Dika bahkan mencoba membuat lelucon meskipun lebih banyak membuat kami tertawa karena ekspresinya yang lucu.
Saat malam terakhir, kami membuat tradisi baru: menuliskan harapan untuk tahun depan di selembar kertas. Kami kemudian melipat kertas itu dan menyimpannya di dalam botol kaca yang akan kami bawa pulang. "Tahun depan, kita buka bersama-sama," kata ibu dengan mata yang berbinar penuh harap.
Keesokan paginya, kami harus kembali ke kota. Rasanya berat meninggalkan tempat yang penuh keindahan dan kenangan ini. Namun, kami tahu, kebersamaan dan kehangatan keluarga adalah hal yang akan kami bawa kemanapun kami pergi.