Di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar, seorang pemuda bernama Raka merayakan hari kemerdekaan dengan cara yang berbeda. Desa tempat Raka tinggal masih memegang erat tradisi, dan setiap tanggal 17 Agustus, seluruh warga berkumpul di alun-alun untuk mengadakan upacara sederhana. Bendera merah putih yang sudah lusuh akan dikibarkan dengan penuh hormat, dan para veteran perang yang masih ada akan diberikan penghargaan.
Raka, seorang pemuda yang dikenal sebagai tukang tambal ban, selalu menjadi bagian dari perayaan tersebut. Meskipun pekerjaannya terlihat sederhana, Raka memiliki semangat yang luar biasa. Baginya, kemerdekaan bukan sekadar kata; itu adalah sebuah perjuangan yang harus diteruskan, bahkan dalam hal-hal kecil.
Tahun ini, Raka ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Ia ingin bendera yang dikibarkan di desa tidak hanya sebatas kain merah putih yang sudah tua dan usang. Ia ingin bendera itu melambangkan semangat baru, harapan baru bagi desa dan bagi dirinya sendiri. Namun, untuk mewujudkan niatnya, Raka harus menghadapi berbagai rintangan.
Raka memutuskan untuk membeli bendera baru. Uang hasil pekerjaannya selama sebulan ia sisihkan untuk membeli bendera yang ia impikan. Namun, rencana Raka tidak berjalan mulus. Saat hari semakin dekat, sebuah musibah datang. Mesin tambal bannya rusak parah. Penghasilannya terhenti, dan ia harus menggunakan sebagian besar tabungannya untuk memperbaiki mesin tersebut.
Sore itu, saat Raka duduk termenung di bengkel kecilnya, seorang anak kecil datang menghampirinya. Anak itu, Budi, adalah salah satu anak desa yang sering membantu Raka di bengkel. Budi melihat wajah Raka yang muram dan bertanya, "Kak Raka, kenapa sedih?"
Raka hanya tersenyum kecil dan mengusap kepala Budi. "Tidak apa-apa, Budi. Hanya saja, kakak sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa membeli bendera baru untuk desa kita."
Budi yang polos tiba-tiba berkata, "Kak, kalau begitu kita bisa buat bendera sendiri! Aku punya kain merah di rumah. Kak Raka pasti bisa menjahitnya."
Kata-kata Budi membuat Raka terdiam sejenak. Ide itu begitu sederhana, tapi benar-benar mungkin dilakukan. Ia mengajak Budi untuk pulang ke rumahnya, dan di sana mereka mulai mencari kain yang bisa digunakan. Dengan keterampilan menjahit seadanya, Raka mulai membuat bendera baru. Malam itu, mereka berdua bekerja di bawah lampu minyak yang redup, menjahit dan memotong kain dengan hati-hati.
Saat pagi tiba, bendera itu akhirnya selesai. Meski sederhana, bendera yang mereka buat memiliki makna mendalam. Raka tersenyum puas melihat hasil kerja mereka. Budi, dengan mata berbinar, berkata, "Bendera ini pasti akan berkibar tinggi di langit!"
Pada hari perayaan, seluruh warga desa berkumpul di alun-alun. Mereka terkejut melihat bendera baru yang berkibar di tiang bambu. Raka dengan bangga memimpin upacara sederhana itu, mengibarkan bendera dengan penuh hormat. Ketika bendera itu berkibar di angkasa, ada perasaan haru yang menyelimuti seluruh warga.