Malam itu, Ridwan duduk sendirian di atas bukit, ditemani angin malam yang sejuk dan suara jangkrik yang riuh. Ia menatap ke langit, memandangi bulan purnama yang menggantung indah dan bintang-bintang yang bertaburan. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Hei, Bulan!" seru Ridwan tiba-tiba, mengangkat tangan ke arah bulan seolah-olah sedang menyapa teman lama. "Kau tahu tidak? Hidupku ini susah banget!"
Bulan, tentu saja, tidak menjawab. Namun, Ridwan merasa perlu melanjutkan curahan hatinya.
"Kenapa hidup ini berat sekali?" lanjut Ridwan, menatap bintang-bintang yang berkelip-kelip. "Aku ini kerja dari pagi sampai malam, tapi gaji kecil. Bosku galak, teman-teman kerjaku semua suka gosip. Kapan aku bisa hidup enak?"
Ridwan menghela napas panjang. Angin malam bertiup pelan, seolah-olah memberikan jeda sejenak untuknya melanjutkan curhatannya.
"Bintang-bintang, kalian kelihatan indah dari sini. Tapi kalian tidak tahu apa yang terjadi di bawah sini. Kenapa aku tidak bisa seperti kalian, bebas dan bersinar?" Ridwan kembali melanjutkan, kali ini matanya tertuju pada bintang-bintang yang menghiasi langit malam.
Tiba-tiba, dari arah belakang, muncul suara yang mengejutkan Ridwan. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak jadi bintang saja?"
Ridwan terlonjak kaget dan menoleh cepat. Di sana, berdiri seorang pria tua dengan senyum di wajahnya. Pak Darto, tetangga Ridwan yang terkenal suka memberikan nasihat aneh tapi bijak.
"Pak Darto! Kaget saya! Dari mana Bapak datang?" tanya Ridwan.
Pak Darto tertawa kecil. "Dari rumah, dong. Saya sering ke sini malam-malam. Tempat ini tenang. Tapi, sepertinya kamu butuh tempat ini lebih dari saya malam ini."
Ridwan tersenyum malu. "Iya, Pak. Saya cuma lagi curhat ke bulan dan bintang. Kadang-kadang, saya merasa mereka lebih mengerti daripada manusia."