Tulisan ini sebenarnya berawal dari informasi adik tingkat di kampusku dulu. Dua bulan terakhir ketika ketemu, mereka di warung kopi selalu mengajak saya untuk tukar pikiran tentang organisasi mahasiswa. Atau mengagendakan khusus ngopi hanya untuk membahas perihal iklim organisasi mahasiswa di kampus.
Sejujurnya saya sudah bukan mahasiswa sejak 2 tahun silam. Lebih tepatnya sekarang sudah jadi fresh graduated. Tapi masih sering menemani mereka berdiskusi seputar organisasi mahasiswa. Setidaknya dengan cara ini saya bisa menyeimbangkan antara focus karir dengan pengabdian. Ternyata hikmahnya banyak, salah satunya dapat mengurangi kepenatan setelah seharian bekerja sebagai karyawan perusahaan.Â
Selain itu, bisa jadi ini beban moral saya kepada rekan-rekan mahasiswa adik tingkat sebab dulu juga sempat aktif di organisasi kampus. Tidak tanggung-tanggung, organisasi intra dan ekstra kampus saya ikuti semua. Karena konon katanya mahasiswa yang aktif organisasi disebut aktivis atau organisatoris.
Adanya perubahan pola interaksi dalam bentuk minat organisasi semacam ini menyita perhatianku. Ya sewalaupun aku juga masih bisa bekerja seperti biasanya sih. Tapi setidaknya saya penasaran, pola ini apakah hanya terjadi di kampus atau memang terjadi juga di kampus lainnya. Terlebih saya menyadari bahwa ini Jogja, yang dikenal dengan kota pelajar. Dari sini, rasa kepoku semakin besar.
Maka lanjutlah penasaran ini dengan mini riset tentu dari group WhatsApp ke warung kopi. Melainkan banyak nanya dengan kawan-kawan yang masih punya perhatian dengan isi organisasi mahasiswa dan juga baca beberapa artikel di internet. Sebab ini bukan sekedar proses pengembangan seorang mahasiswa tapi juga ada kaitannya dengan situasi pendidikan yang terjadi saat ini. Maksudnya analisisnya tidak boleh satu sisi dari organisasi mahasiswa saja tapi pada pola pendidikan mestinya dianalisis biar pemahamannya utuh.
Generasi millenial saat ini sedang berada di bangku kuliah. Sebagian mungkin menyebut dirinya masuk kuliah angkatan pandemi. Tiga tahun proses masuk kuliah menggunakan platform online. Bukan sekedar pendaftarannya melainkan pembelajarannya pula dilakukan menggunakan aplikasi populer seperti digital seperti zoom dan googlemeet. Syukur teramat besar karena akhir-akhir ini sudah bisa offline setidaknya kombinasi offline dan online (blended learning).
Keadaan ini pastinya juga berpengaruh pada mental mahasiswa terutama dalam hal berinteraksi, komunikasi dan saling mengenal dengan teman satu prodinya. Di satu sisi bisa dibilang efektif karena  gak perlu ngekos atau biaya bensin buat kuliah.Â
Tapi di sisi lainnya juga kurang baik pada mental sosial. Ini perspektif pribadi saja teman. Kenal dengan teman sekelas hanya melalui WhatsApp group atau username di saat ngezoom.
Situasi rendahnya semangat mahasiswa untuk berorganisasi bukanlah kebetulan semata, tetapi juga ada akibat dari perubahan metode pembelajaran pendidikan di negeri ini.Â
Masih ingatkah kita dengan program kampus merdeka dan Indonesia mengajar? Belum lagi persoalan beasiswa KIP kuliah yang sasarannya selalu banyak yang meleset.