Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Susahnya Mendeskripsikan Pengucapan Bahasa Madura

5 Mei 2015   07:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kepulangan saya ke Madura sejak Kamis lalu (30/4/2015) melahirkan banyak pengetahuan baru yang menuntut saya untuk mengabadikannya dalam bentuk tulisan. Dari terminal, saya dijemput oleh kakak. Banyak cerita yang kami diskusikan sepanjang perjalanan. Sedikitnya, selama empat hari di rumah, saya telah mendiskusikan kondisi politik Madura yang semakin menyedihkan, sosial budaya yang sudah jauh dari harapan, kesenjangan perekonomian di tengah-tengah masyarakat, filsafat, dan yang tak kalah pentingnya juga mengenai bahasa Madura.

Dalam tulisan ini saya hanya akan menceritakan sulitnya bahasa Madura. Beberapa hari yang lalu, atas inisiasi Pak Satria Dharma, saya meminta kakak saya untuk menyusun cara belajar bahasa Madura yang cepat. Beberapa buku panduan, kamus, dan buku-buku pelajaran sudah mulai dikumpulkan. Sebelum saya pulang, kakak juga menceritakan bahwa memang ada beberapa fonem yang sulit dibedakan.

Nah, kesempatan bagi kami untuk berdiskusi setelah saya pulang. Saya coba lihat semua referensi yang telah tersedia. Meskipun saya tidak begitu pintar juga dalam bahasa Madura, tapi sedikit-sedikit saya masih ingat pelajaran bahasa Madura. Beberapa bahasa halus pun masih melekat dalam ingatan saya.

Namun, ternyata apa yang dirasakan kakak juga dirasakan saya. Beberapa masalah muncul dalam penyusunan buku itu. (Oh iya, kakak bilang, lebih baik disebut penyusun bukan penulis. Soalnya, kami hanya berupaya menyusun dari berbagai referensi yang ada. Bukan menulis seperti menulis artikel). Misalnya, dalam hal penulisan, dalam bahasa Madura digunakan simbol-simbol untuk membedakan bunyi. Sebab perbedaan bunyi dapat mengubah arti yang sangat jauh.

Contoh: pengucapan huruf a dalam bahasa Madura ada dua, yaitu a dan â. Begitu juga dalam pengucapan huruf e, yaitu e dan è. Namun, dalam penulisan umum seringkali itu tidak dibedakan. Akibatnya, arti yang muncul pun jadi sering salah. Selain itu, yang cukup membuat saya pusing adalah ternyata perbedaan pengucapan huruf â dan e hampir tak ada bedanya. Tapi, kenapa keduanya mesti dibedakan? Kenapaaaaaa????? Hiks hiks hiks

Baiklah, saya akan memberikan sedikit penjelasan bagaimana perbedaan pengucapan empat huruf di atas yang menjadi masalah.

Untuk mengucapkan huruf a tidaklah sulit sebab sama dengan mengucapkan kata aku. Dalam bahasa Madura, contohnya adalah kata sossa (sedih). Berbeda dengan pengucapan huruf â yang ternyata sangat mirip dengan pengucapan huruf e atau jika dalam sebuah kata dapat dilihat pada kata ke. Contoh dalam bahasa Madura adalah kata sabâ (sawah).

Sekarang ke huruf e. Seperti yang sudah dikatakan di atas, bahwa pengucapan huruf e sama persis dengan pengucapan huruf â. Cara pengucapannya dapat diperhatikan pada kata ke. Contoh dalam bahasa Madura adalah pada kata ngater (mengantar). Berbeda dengan pengucapan huruf è. Ini sangat jelas, sama dengan pengucapan huruf e pada kata pena. Contoh dalam bahasa Madura adalah pada kata èrèt (tarik).

Itu hanya sebagian dari kesulitan dalam menyusun buku cara belajar bahasa Madura. Belum lagi di Madura memiliki dialek yang tidak sama antardaerah. Salah satu contohnya adalah kata kamu. Untuk bahasa kasarnya, dialek Sumenep biasa mengucapkan bekna, dialek Pamekasan be’en, dialek Sampang tidak jauh beda dengan dialek Sumenep, dan dialek Bangkalan menjadi be’eng.

Sama dengan bahasa Jawa, dalam bahasa Madura juga ada tingkatan bahasa atau yang biasa disebut ondhegenna bâsa. Ada tiga tingkatan dalam bahasa Madura, yaitu enje’ iye, èngghi enten, dan èngghi bunten.

Tingkatan enje’ iye biasanya digunakan dalam percakapan antarsahabat, antaranak-anak, atau orang yang lebih tua kepada anak-anak. Tingkatan èngghi enten biasa dipakai dalam percakapan antara anak-anak kepada orang yang lebih tua atau percakapan yang digunakan untuk orang yang baru dikenal. Terakhir, tingkatan èngghi bunten biasa dipakai dalam percakapan dengan orang yang dihormati. Misalnya antara anak kepada orang tua, guru, kiai, dan lain sebagainya.

Sebenarnya, dalam tingkatan èngghi bunten masih terdapat klasifikasi lagi, mana yang lebih halus dan mana yang kurang halus. Namun, itu tidak begitu dijelaskan. Yang lebih menyulitkan lagi ada sebuah kata yang berada di antara dua tingkatan yang hampir sama penulisannya namun beda pengucapannya. Yakni kata engghi artinya iya. Penulisan yang biasa ditemui adalah engghi. Jika diucapkan engghi maka berada dalam tingkatan pertama (enje’ iye) tapi kalau diucapkan dengan èngghi plus agak lembut maka berada dalam tingkatan kedua (èngghi enten).

Kesulitan-kesulitan itu menjadikan buku itu tidak mudah dibuat dengan sempurna. Bahkan, saya mengusulkan kepada kakak bahwa jika buku ini hanya ditulis maka akan tetap susah dipahami oleh pembaca. Oleh karena itu, diperlukan seminar agar pengucapannya benar atau bisa juga dibuatkan video agar bisa ditirukan.

Kemungkinan juga akan muncul kritik-kritik dari para ahli bahasa Madura jika buku itu benar-benar muncul nantinya. Namun, saya tidak khawatir akan hal itu. Sebab ini akan menjadi sejarah dan biarkan sejarah yang mencatatnya. Bahwa meskipun kami masih muda dan tidak begitu menguasai tapi kami ada rasa peduli dan upaya sungguh-sungguh untuk mengabadikan bahasa Madura daripada yang tiba-tiba muncul hanya untuk mengkritik.

Memang saya belum begitu berimpian meng-internasionalkan bahasa Madura sebagaimana diucapkan Mas Eko Prasetyo beberapa waktu yang lalu. Tapi, terabadikannya bahasa Madura dengan baik saja sudah merupakan hal yang luar biasa. Sebab, setelah saya lihat perkembangannya, anak-anak sekarang justru tidak tahu bahasa halus dalam bahasa Madura. Ketika menemukan kesulitan dalam berbahasa halus, mereka tidak belajar bahasa halus itu melainkan membelokkan bahasanya ke bahasa Indonesia. Akibatnya, bahasa Madura semakin ditinggalkan.

Demikian sekilas cerita saya terkait penulisan buku bahasa Madura bersama kakak. Semoga esok-esok ada cerita lagi dan semoga penulisan bukunya juga cepat selesai. Semoga keberagaman Indonesia juga akan tetap abadi. Salam Indonesia Raya!

Surabaya, 4 Mei 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun