Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sakralitas Kerudung dan Pergeseran Makna

8 April 2015   00:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:24 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak hal yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat kemudian disakralkan. Sesuatu yang disakralkan biasanya menjadi hal yang sangat takut dilanggar oleh masyarakat itu sendiri. Bahkan kesakralan/sakralitas benda atau aktivitas lebih ditakuti daripada undang-undang yang berlaku dalam sebuah negara. Banyak hal yang dianggap sakral di tengah-tengah masyarakat Indonesia ini. Salah satunya adalah kerudung.

Memakai kerudung sebelum tahun 2000-an dianggap sakral. Agama Islam menekankan kepada umatnya agar mengenakan kerudung. Banyak dalil yang menegaskan bahwa orang Islam yang tidak memakai kerudung akan mendapatkan siksa dari Allah di hari akhir. Namun, di sini saya tidak akan membahas mengenai hukum mengenakan kerudung tersebut. Itu adalah persoalan pribadi masing-masing orang.

Di sini saya hanya ingin melihat bagaimana sakralitas kerudung tersebut kemudian dapat bergeser makna. Sakralitas kerudung yang menjadi identitas umat Islam, kemudian berubah menjadi fashion semata tanpa memberikan kesan apapun bagi pemakainya. Lebih jauh lagi, kerudung tidak lagi berfungsi sebagai bagian dari tanda keimanan seorang muslimah.

Sekitar dua hingga tiga tahun yang lalu, seorang guru saya, Pak Hosen Rowiy namanya mengatakan, saat ini perempuan berkerudung sudah bukan lagi sebagai cerminan keimanan. Terkadang, kerudung itu justru dijadikan alas untuk berpacaran. Kalimat-kalimat itu mungkin terasa amat kasar dan terlalu psimis terhadap perempuan yang  mengenakan kerudung. Namun, tak dapat dimungkiri melihat fakta yang terjadi di lapangan.

Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat juga menceritakan kepada saya, dia mempunyai teman seorang Buddha. Akan tetapi, temannya itu memakai kerudung. Setelah ditanya kenapa memakai kerudung padahal keyakinannya tidak sama. Sang Buddhis dengan santai menjawab, “Sekarang kan sudah trend?”

Saya rasa kisah tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di kelas saya sendiri saat ada festival busana islami. Saya memiliki seorang teman Kristiani. Dia juga mangatakan bahwa dia ingin ikut festival tersebut meskipun memakai busana islami. Sungguh, saya merasa kaget namun juga terpukul. Betapa besarnya perubahan yang telah terjadi terhadap sakralitas kerudung ini!

Fungsi kerudung sebagai identitas umat Islam, sebagai kontrol dalam kehidupan seorang muslimah, sebagai cerminan keimanan sudah terkikis dalam kehidupan modern ini. Kerudung menjadi tidak lebih dari sakadar busana tanpa makna, mode zaman, atau hanya sebagai alat untuk melindungi kepala dari panasnya sinar matahari.

Berbagai model kerudung yang bermunculan belakangan ini malah tidak memberikan peningkatan terhadap makna sakralitas kerudung itu sendiri. Justru yang ada hanya sebagai fashion atau trend busana. Berbagai festival kerudung yang digelar nyatanya tidak mampu menarik seseorang untuk lebih menguatkan imannya. Melainkan justru lebih sibuk mencari model kerudung yang pas di masanya.

Fakta-fakta demikian semakin nyata terlihat di tengah-tengah gencarnya media sosial. Seorang perempuan dapatlah memakai kerudung ke sekolah atau ke kampus akan tetapi, yang kadang membuat saya merasa aneh, mereka justru mengunggah foto tanpa kerudung di BBM, Facebook, Instagram, dan lain sebagainya.

Sekali lagi saya tidak ingin membahas persoalan hukum dari menutup aurat itu sendiri. Melainkan, di sini dapat dilihat bahwa ada sebuah pergeseran makna kerudung dalam kehidupan. Sakralitas kerudung tidak mampu menggiring pemakainya untuk berbuat sesuai dengan etika Islam. Ironisnya, sakralitas itu sendiri yang justru dilindas oleh perubahan.

Lagi-lagi, seorang sahabat saya yang memiliki teman Buddhis itu juga mengisahkan bahwa dalam pelaksanaan festival hijab tidak pernah ditanya agamanya melainkan hanya berat badan, tinggi badan, dan hal-hal fisik lainnya. Mungkin, panitia memang menganggap bahwa orang yang memakai kerudung sudah pasti orang beragama Islam. Padahal, faktanya tidak demikian.

Terkadang saya berpikir, apakah ini juga merupakan bagian dari akibat fase liberalisasi yang biasa disebut komoditifikasi dalam teori Karl Marx? Ya, barangkali ini komoditifikasi berkedok agama. Bila para pengusaha melihat peluang dalam penggunaan kerudung, maka dengan mudah menciptakan kegiatan-kegiatan berkedok agama yang sejatinya demi mendapatkan keuntungan.

Jika kerudung sudah bukan lagi menjadi cerminan seorang muslimah, jika kerudung hanya dijadikan fashion belaka yang dapat dipakai oleh siapa saja dan dari mana saja, jika kerudung sudah tidak memiliki kesakralannya, maka sudah sepatutnya tak perlu ada perbedaan antara yang memakai kerudung dan yang tidak memakai di mata masyarakat.

Sehingga, pada saat presentasi esai di UIN Sunan Kalijaga dua tahun yang lalu, saya katakan dengan tegas bahwa keimanan tidak terletak pada pakaian. Keimanan tidak terletak pada sorban. Keimanan tidak terletak pada kerudung. Keimanan tidak terletak pada gamis. Keimanan terletak jauh di dalam diri manusia.

Keimanan dapat membentuk manusia menjadi baik namun tidak sebaliknya, kebaikan tidak selalu menunjukkan seseorang memiliki tingkat iman yang tinggi. Jika mau mengambil contoh, kakek Nabi saw tidak mau masuk Islam tapi beliau sangat baik dan membantu pengembangan agama Islam. Atau jika mau mengambil contoh yang lebih terkini, banyak kiai yang terlibat kasus korupsi di meja DPR. Semoga kelak kerudung dapat kembali ke khittah-nya. Semoga bermanfaat!

Surabaya, 7 April 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun