Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menulis Itu Belajar Cantik

24 Desember 2014   17:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:33 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dulu waktu masih SMP saya mendapat pelatihan jurnalistik dari seorang kolomnis di majalah NU. Obed, begitu dia lebih suka dipanggil. Katanya, menulis itu dapat mempercantik seseorang. Tentu saja semua teman-teman melongoh-melongoh gak percaya. Sebab, bagaimanapun ketika ada kata 'cantik' maka yang muncul dalam benak adalah paras. Wajah yang merona dan selalu membuat hati ini adem ayem. Bibir merah jambu lengkap dengan hidung mancung.

Namun, semua dugaan itu jauh berbeda. Setelah kubaca tulisannya yang membahas tentang itu, ternyata dia berlasan dengan menulis maka beban hidup seseorang akan lebih ringan. Pikirannya lebih plong daripada tidak menulis. Hal itulah yang menyebabkan seorang penulis terlihat cantik. Karena dengan pikiran plong maka (setidaknya) hantu jerawat tidak bergentayangan.

Untuk sementara saya menerima alasan itu. Ya, setidaknya sampai saya menemukan alasan kuat untuk membantahnya. Entah sampai kapan saya tidak dapat memastikan. Saya hidup desa dengan lingkungan yang tak begitu mendukung soal kepenulisan. Tak ada satu pun teman SMP saya yang suka menulis sehingga dapat dijadikan partner berbagi.

Kebetulan saja saya selalu didorong oleh kakak yang mondok di kota untuk selalu membaca. Membaca apa saja yang justru bukan mata pelajaran. Dan mungkin juga kebetulan, setelah tulisan pertama saya dimuat di Buletin Sidogiri, ada guru saya yang mau mengajari saya menulis puisi. Kemudian saya juga belajar pada penulis-penulis yang bukan guru dari sekolah saya sendiri.

Baru setelah masuk sekolah di MAN Sumenep saya dapat bertemu dengan teman-teman yang suka menulis. Sejak hidup di kota itulah saya mulai mendapat gesekan dari penulis-penulis di atas saya. Setidaknya setelah tiga puisi saya masuk nominasi dalam Temu Sastrawan Indonesia keempat di Maluku dan dibukukan bersama puisi dan cerpen sastrawan ternama lainnya dalam "Tuah Tara No Ate". Waktu itu banyak yang bilang eman karena saya tidak hadir ke acara tersebut. Lagi-lagi hanya sebuah kebetulan, waktu itu saya dinobatkan sebagai sastrawan termuda.

Ternyata pernyataan "menulis itu dapat membuat orang cantik" kembali melahirkan pertanyaan dalam benakku. Saya bertemu dengan banyak penulis tapi penampilan mereka biasa-biasa saja. Bahkan ketika saya mempresentasikan esai saya dalam lomba menulis esai di UIN Sunan Kalijaga tahun 2013 lalu (waktu itu kelas tiga MAN), dua orang lawan saya yang kesemuanya adalah wanita juga biasa-biasa saja. Bahkan salah seorang dari mereka saya lihat memiliki jerawat.

Bukan! Bukan maksud saya berniat buruk dengan ucapan itu, saya hanya mempertanyakan kebenaran pernyataan itu. Saya pun bertanya, mungkin pernyataan di atas hanyalah keisengan semata untuk menarik pembaca. Menurutku, itu sudah tidak sesuai dengan kenyataan yang saya temui.

Hingga untuk sementara saya menghentikan pencarian makna yang sebenarnya terhadap pernyataan tersebut dalam bentuk fisik. Saya percaya pernyataan itu tidak selalu benar. Bagaimanapun banyak pula orang yang bukan penulis tapi tetap cantik. Ya, setidaknya cantik menurut subjektivitasku sendiri.

Apa hal itu berakhir begitu saja? Ternyata tidak. Saya kembali menemukan pernyataan untuk membenarkan pernyataan itu dari orang lain. Saya tidak ingat nama orangnya, dia mengatakan bahwa kecantikan yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk fisik. Tapi juga batin. Seorang penulis akan memiliki hati yang lembut dan penuh inspirasi. Sebab itulah seorang penulis selalu terlihat menyenangkan. Kondisi itulah yang dimaksud sebagai 'cantik'.

Benar? Tentu saja pikiranku hanya sebentar menerima penjelasan tersebut. Bagaimana tidak, setelah saya mencoba mencari biografi-biografi para penulis ternama di dunia, malah kutemukan seorang penulis yang jahat. Ya, Enid Blyton. Saya baca biografi sang penulis anak itu. Ternyata dia justru selalu berlaku kurang baik kepada anaknya sendiri. Tampaknya, di dalam hatinya tersimpan pernik-pernik bara api sebab broken home orangtuanya dahulu.

Sebuah kebalikan yang sangat drastis. Tak sampai pikiran saya menjangkaunya. Tulisan cerita anaknya begitu digemari di seluruh dunia tapi ternyata pada anaknya sendiri tidak sebaik yang dibayangkan. Pertanyaannya, apakah dengan menulis tidak dapat mengobati dan melembutkan hatinya? Kalau tidak berarti pernyataan itu lagi-lagi terbantahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun