Mengapa anak kecil lebih suka bermain? Mereka tidak peduli betapa mangkelnya orangtua saat mereka disuruh berhenti bermain tapi mereka tidak mau berhenti. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana masa-masa sekolah dasar (SD) tampak begitu menyenangkan. Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas empat. Di tahun gencar-gencarnya Piala Dunia dan film-film fantasi. Banyak anak-anak yang suka bermain sepak bola dan juga perang-perangan. Sebenarnya masih banyak permainan anak-anak yang juga tren pada saat itu, namun saya hanya ingin mengupas dua permainan itu. Sebab dua permainan itu yang lumayan enak untuk dibicarakan dalam tulisan kali ini.
Setiap hari, setiap jam istirahat, anak-anak suka bermain sepak bola di lapangan. Kebetulan sekolah saya memang sangat dekat dengan lapangan sepak bola kecamatan. Selalu ada kompetisi antara kelas empat dan kelas tiga. Kompetisi itu memang tidak dilakukan secara formal. Tidak ada wasit maupun guru yang mendampingi. Teman-teman bermain dan bertanding sesukanya. Hal yang menarik dari pertandingan itu adalah rasa tidak peduli panas dan terik matahari. Bayangkan, sedikitnya mereka bermain dua kali sehari. Yakni pukul sepuluh pagi dan sekitar pukul dua belas siang.
Sebagaimana kita ketahui, apalagi di Madura, waktu-waktu itu adalah waktu di mana terik matahari sangat menyengat. Tapi bagaimana mereka tidak pernah memedulikan sengatan matahari itu dan tetap bermain sepak bola dengan seragam sekolah di lapangan terbuka? Tentunya hal itu tidak akan dilakukan jika anak-anak itu mau berpikir logis. Toh ketika menang mereka tidak mendapat apa-apa kecuali rasa capek yang mau masuk ke kelas dan dimarahi oleh orangtua karena seragamnya kotor.
Berikutnya, teman-teman suka bermain perang-perangan. Dengan berbagai gaya, dengan bayangan sudah seperti pendekar yang diidolakan di tv-tv, mereka memakai berbagai jurus. Teman-teman dapat memukul, menangkis, menendang, hingga berguling-guling di tanah karena terkena pukulan. Biasanya teman-teman bermain perang-perangan di tempat lompat jauh. Di mana di lapangan itu penuh dengan pasir. Sehingga tak heran bila seragam mereka penuh pasir dan kotor setelah bermain bahkan tak jarang pula uang mereka hilang karena jatuh di pasir.
Sama seperti anak-anak yang bermain sepak bola di terik matahari. Mereka pun tidak bisa lepas dari marah orangtuanya. Bahkan lebih dari itu, mereka harus menahan lapar karena uang sakunya hilang. Tapi, apakah mereka berhenti karena itu? Tentu saja tidak. Mereka malah menjadikan aktivitas itu sebagai rutinitas sehari-hari.
Apa yang bisa kita ambil dari dua kisah di atas? Satu yang mungkin dapat kita ambil sebagai pelajaran adalah kesenangan. Anak-anak itu melakukan itu dengan dasar senang sehingga mereka pun merasakan kenikmatan meskipun menurut pikiran sehat itu tindakan yang kurang baik. Mereka tetap merasa senang meskipun tubuhnya disengat oleh teriknya matahari sebab kesenangan bermain bola. Mereka tetap merasa senang bermain perang-perangan meskipun harus kehilangan uang sakunya.
Ya, menyenangi apa yang kita lakukan sebenarnya tidak hanya berlaku pada permainan tapi juga pekerjaan-pekerjaan lain, misalnya menulis. Dalam pelajaran yang kesebelas, Dr. Suyatno, M.Pd. mengajarkan bahwa untuk menjadi penulis maka harus dapat menyenangi kegiatan menulis. Beliau menyampaikan: “Jadikan menulis sebagai kesegaran, kenikmatan, dan kebahagiaan seperti si kecil bermain boneka, si penggembala menaiki kerbaunya, si pemain seruling meniup lubang suara, si penjual pecel tersenyum dengan pembelinya, dan si mahasiswa dengan berdiskusinya.”
Dengan merasa senang terhadap kegiatan menulis maka sudah secara otomatis dan dijamin akan menjadi penulis. Sebab belajar menulis sebenarnya tidak jauh berbeda dengan belajar bahasa. Yakni learning to action. Seberapa banyak pun kita belajar tata bahasa suatu bahasa tapi tidak pernah mempraktikkan maka tentu saja tidak akan pernah bisa ngomong bahasa tersebut. Begitu pun menulis, seberapa banyak kita belajar teori tapi tidak pernah menulis maka tidak akan pernah bisa menulis.
Dan yang juga harus diperhatikan bahwa kefasihan atau kelihaian menulis juga ditentukan oleh seberapa sering kita menulis. Enid Blyton misalnya, konon mampu menulis sebanyak 10.000 kata per hari. Berarti dalam waktu empat hari saja ia sudah dapat menghasilkan tulisan sebanyak 40.000 kata. Itu adalah jumlah minimal dalam sebuah novel. Ya, sekitar 150 halaman. Dapat dibayangkan bila dalam satu bulan, sudah berapa novel yang dapat dia hasilkan?
Bagaimana hal itu dapat ia lakukan? Tentu saja jawabannya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak di atas. Enid Blyton mampu melakukan itu juga karena tidak lain dan tidak bukan sebab kesenangan. Enid benar-benar merasa senang dan nikmat dalam menulis. Sehingga tak heran bila karya-karyanya abadi sepanjang masa. Karya-karyanya menjadi karya yang selalu dibaca dan dikenang oleh orang-orang di seluruh dunia.
Dengan demikian, pelajaran dari Dr. Suyatno, M.Pd. di atas tidak berlebihan bila dijadikan sebagai sumber penyemangat dalam berproses menjadi penulis. Untuk menjadi penulis sudah bukan barang baru lagi bila kita harus merasakan kesenangan dan kenikmatan dalam menulis. Jika hal itu tidak ada dalam diri kita maka jangan pernah bermimpi untuk menjadi penulis. Bagaimanapun, suatu aktivitas yang dilakukan tanpa didasari rasa senang dan nikmat tentu akan muncul perasaan yang berlawanan, yaitu rasa bosan, malas, dan celakanya tidak mau menulis lagi. Maka cintailah menulis niscaya kamu akan menjadi penulis. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H