Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bahasa dan Kemajuan Negara

19 Juni 2014   01:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:12 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kemarin, Selasa 17 Juni 2014 saya ikut menyaksikan proses MoU antara Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dengan Hokuriku University, Jepang. Pembahasan mengenai kerja sama itu dilakukan di ruang sidang rektorat Unesa. Adapun yang hadir dari Hokuriku adalah Tsutomu Ogura, Ph.D. (Chairman, Board of Trustees), Shigeru Minamino (Member Board of Trustees Chief Administrator), dan Justin Tobias (Deputy Manager International Exchange Center).

Dalam ruang sidang itu hanya ada dua bahasa dalam komunikasi mereka, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Pihak Unesa yang menyambut mereka menggunakan bahasa Inggris dan satu orang lagi menggunakan bahasa Jepang. Sedangkan yang dari Jepang menggunakan bahasa Jepang dan bahasa Inggris.

Yang membuat saya agak memutar pikiran adalah pihak yang datang dari Jepang. Tsutomu Ogura, Ph.D. dan Shigeru Minamino adalah para petinggi dari Hokuriku University. Sedangkan Justin Tobias adalah orang Australia yang menjadi transletor bagi orang-orang Jepang itu. Jadi, bahasa orang-orang Jepang itu diterjemahkan oleh Justin Tobias ke dalam bahasa Inggris.

Saya kemudian berpikir begini, kenapa orang Indonesia begitu ambisius untuk bisa berbahasa asing. Saking ambisiusnya bahkan bahasa daerahnya sendiri terlupakan. Bisa dilihat betapa menurun pesat anak-anak Indonesia yang paham betul bahasa daerahnya. Ironisnya, bahasa daerah yang biasa menjadi bahasa ibu pun kini mulai tergeserkan oleh bahasa Indonesia, bahasa nasional.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, orang Indonesia banyak yang menguasai bahasa-bahasa asing tapi kenapa Indonesia belum maju-maju juga? Sementara cendikiawan Jepang tidak menguasai bahasa asing tapi kenapa di sana lebih maju? Bagaimana sih sebaiknya negara ini diatur agar mengalami kemajuan yang pesat?

Di sinilah saya berpikir bahwa seharusnya setiap individu menguasai minat dan bakatnya masing-masing. Kemudian dari setiap individu itu saling bekerja sama sehingga terjadi kolaborasi yang kuat dan kemajuan secara serentak pun tercapai dengan maksimal. Yang memiliki keahlian bahasa maka dalamilah bahasanya sehingga menjadi transletor yang baik. Yang memiliki keahlian di bidang sains maka kembangkanlah ilmu sainsnya dengan baik. Bukankah itu jauh lebih baik daripada satu orang dituntut untuk menguasai berbagai macam ilmu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun