Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Saatnya Indonesia Membuktikan!

9 Mei 2015   08:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:14 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Membaca headline berita yang diturunkan Kompas (8/5/2015) terkait pembangunan infrastruktur membuat saya merasa tersentil. Dalam pembangunan insfrastruktur kali ini pemerintah akan berupaya memanfaatkan barang domestik (dalam negeri). Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Infrastruktur misalnya memberikan contoh langkah yang perlu diambil pemerintah dalam rangka mendorong pengutamaan barang domestik tersebut, yakni penghapusan PPN 10 persen terhadap barang-barang yang akan digunakan dalam pembangunan infrastruktur.

Berkaitan dengan pembangunan infrastruktur tentunya barang yang akan diimpor, salah satunya, adalah baja. Untuk barang impor jenis ini kita memang dapat menaruh rasa optimis. Untuk data tahun 2010 hingga 2013, impor baja memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dari 20.331 ton menjadi 295.814 ton. Namun, pada tahun 2014, impor baja telah mengalami penurunan, dari US$ 12,60 miliar pada tahun sebelumnya menjadi US$ 12,58 miliar (CNN Indonesia, 14/4/2015).

Penurunan impor baja ini merupakan salah satu kebahagiaan yang patut dirayakan oleh Indonesia melalui pengoptimalan barang domestik. Pemerintah harus berusaha sekuat tenaga untuk benar-benar menjadikan Indonesia mandiri. Ungkapan “cintai produk dalam negeri” musti diaplikasikan dalam proyek pembangunan ini.

Selama ini, banyaknya penggunaan barang-barang impor daripada barang domestik disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya yang menjadi alasan klasik adalah kalahnya daya saing, khususnya harga, antara barang domestik dengan barang impor. Sementara yang menjadi kendala daya saing tersebut adalah sangat berkaitan dengan pajak.

Harga barang-barang dalam negeri menjadi lebih tinggi daripada barang impor sebab ada pajak yang mengikat. Perusahaan mengalami dilema dalam menghadapi persoalan ini. Bila perusahaan ingin mampu bersaing secara harga tentu perusahaan cenderung akan mengurangi kualitasnya. Padahal, rendahnya kualitas sangat berdampak besar terhadap minat konsumen.

Oleh karena itu, pengurangan pajak terhadap produk domestik menjadi hal penting untuk direalisasikan. Di samping juga tetap mendorong perusahaan-perusahaan untuk selalu meningkatkan kualitas. Pengurangan beban pajak dan dorongan untuk meningkatkan kualitas juga harus diberikan terhadap produk-produk lain.

Jika dipahami lebih jauh, yang menjadi cikal bakal kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap produk dalam negeri ada dua hal itu, harga yang terlalu tinggi dan kualitas yang kurang optimal. Akibatnya, pelan tapi pasti, kepercayaan masyarakat terhadap produk domestik pun berkurang.

Saya sangat sepakat bila pemerintah akan meningkatkan bea impor. Ini merupakan cara yang umum dilakukan pemerintah untuk pengoptimalan produk domestik. Akan tetapi, akan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) barangkali akan menjadi hambatan terhadap pengambilan kebijakan ini. Penghapusan bea masuk dan keluar produk dari dalam dan ke luar negeri menjadikan kebijakan ini tidak efektif.

Oleh karena ini, langkah yang paling memungkinkan untuk mem-branding produk dalam negeri adalah pengurangan pajak dan penurunan suku bunga. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan akan memiliki peluang besar untuk mengembangkan usahanya. Investasi akan menjadi pilihan bagi masyarakat dan pendapatan pemerintah pun akan bertambah.

Yang juga patut diperhatikan berkaitan dengan pembangunan infrastruktur ini adalah adanya investor dari luar negeri. Sudah umum diketahui bahwa adanya investor atau penanam modal asing tidak tanpa pengaruh. Selalu saja ada kesepakatan yang terkadang tidak adil. Salah satunya adalah penggunaan sumber daya dari negara investor untuk proyek pembangunan.

Saya jadi ingat pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada saat krisis moneter tahun 1998. Dalam kebijakan hasil kerja sama Indonesia dengan International Moneter Fund (IMF) ini, BI menggelontorkan uang sebesar 147,7 triliun rupiah untuk membantu 48 bank. Dan dari hasil audit BPK, telah terjadi penyimpangan sebesar 138 triliun rupiah dalam penggunaan dana tersebut.

Yang membuat saya merasa miris dari perjanjian tersebut adalah pengambilan kebijakan bantuan likuiditas untuk mengatasi krisis moneter itu. Dalam bukunya Ekonomi Politik; Kajian Teoritis dan Analisis Empiris, Ahmad Erani Yustika, Ph.D mengisahkan, dalam perjanjian antara Indonesia dan IMF tersebut adalah pemerintah memohon kepada IMF untuk membantu dan menyerahkan kebijakan kepada IMF asal krisis moneter dapat diatasi.

Penyerahan kebijakan terhadap negara piutang ini jelas tidak elok. Secara tidak langsung, pemerintah telah menyerahkan negaranya kepada negara lain. Saat itu, IMF pun menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan bantuan likuiditas. Sebab, kebijakan ini konon pernah berhasil saat diterapkan di Eropa.

Namun, kenyataan berkata lain saat diterapkan di Indonesia. Para ekonom pun mengakui bahwa kebijakan itu sebenarnya kebijakan yang salah akan tetapi, pemerintah telah terlanjur menyerahkan sepenuhnya kepada IMF. Bank-bank yang menerima bantuan tersebut pun tidak jelas adanya. Begitu juga dalam cara penyaluran dana tersebut. Dana tersebut masuk ke rekening-rekening pribadi pemiliki bank sehingga beberapa pemilik bank dengan mudah membawa kabur dana tersebut ke luar negeri.

Senada dengan kasus ini, pemerintah harus membuat perjanjian yang jelas dan tidak merugikan Indonesia dalam menerima investor. Jangan sampai ada intervensi asing dalam pembangunan infrastruktur dengan cara yang tidak baik. Sebab, intervensi semacam ini menunjukkan ketidakmerdekaan dan ketidakmandirian bangsa Indonesia.

Indonesia harus bisa memanfaatkan sumber daya domestik. Baik mulai pelaksana proyek ini hingga bahan-bahan yang akan digunakan. Sudah saatnya Indonesia membuktikan kemandiriannya. Wallahu a’lam.

Surabaya, 8-9 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun