Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Resensator Buku Tiga Serangkai (1)

22 Maret 2015   22:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:16 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu saya diajak ngopi oleh guru menulis saya yang sangat inspiratif. Seperti biasa, kami memilih food court Unesa sebagai tempat yang nyaman untuk mengobrol bebas. Beliau, orangnya sangat fleksibel. Entah apakah karena beliau termasuk jebolan surat kabar nasional sehingga diperlukan fleksibelitas yang tinggi atau memang karena beliau tidak berasal dari instansi tertentu, saya kurang begitu paham. Yang jelas, beliau adalah penulis andal yang telah menulis lebih dari 32 buku.

Cong atau Kacong, demikian saya biasa dipanggil oleh beliau. Sementara saya biasa memanggil beliau dengan sebutan Bos atau Mas. “Cong, di mana? Ayo ngopi. Kutunggu di food court,” begitu beliau menghubungi saya.

Hampir saya tidak pernah menolak saat diajak ngopi oleh beliau. Bukan karena saya tidak sibuk, tapi pertemuan saya dengan beliau terasa sangat penting. Meskipun terkadang obrolan kami ngalur ngidul tidak jelas, namun dari keleluasaan dan fleksibelitas beliaulah saya banyak belajar. Bukan hanya belajar menulis tapi yang lebih penting saya banyak belajar kehidupan kepada beliau, belajar bagaimana menyukuri nikmat Allah, dan belajar bagaimana membahagiakan orang-orang di sekitar kita.

Sebagai seorang mahasiswa yang hidup seorang diri di Kota Surabaya yang hanya hidup dengan beasiswa bidik misi dan kadang sejumlah rezeki ajaib dari Allah, saya harus pintar mengatur sirkulasi keuangan. Kebetulan saat itu saya sedang dilanda kepepet. Honor dari menulis belum cair dan bidik misi juga belum cair. Hal itu cukup membuat saya tersandera penyakit Kanker (kantong kering).

“Bos,” kata saya hendak mengisahkan kondisi saya kepada sang guru. “Saya lapar (maksud saya bukan lapar dalam arti belum makan tapi tidak punya uang).”

Setelah basa-basi, beliau menyampaikan satu trik untuk membuka jalan bagi saya. “Ada banyak cara untuk mendapatkan pundi-pundi uang. Jadilah perensensi buku salah satu penerbit. Penerbit yang biasa memberi honor uang itu adalah Penerbit Tiga Serangkai dan Penerbit Erlangga,” jelasnya.

“Bagaimana caranya?” seperti biasa, setiap kali beliau berbicara serius saya selalu memandang beliau tanpa berkedip karena takut terlewat ilmu yang hendak diberikan.

“Belilah buku terbitan Penerbit Tiga Serangkai. Kemudian kamu resensi dan terbitkan di media cetak. Setelah itu kirimkan bukti cetaknya ke penerbit itu dan bilang bahwa kamu mau jadi peresensi buku-buku terbitan penerbit tersebut.”

Kemudian beliau menyodorkan uang lima puluh ribuan ke saya untuk dijadikan modal membeli buku terbitan Penerbit Tiga Serangkai. “Sekarang belilah buku. Jadikan uang ini sebagai modal untuk menghasilkan uang yang lebih banyak,” katanya memberi semangat kepada saya.

Tak menunggu lama, setelah kami menyelesaikan ngopi, saya langsung minta bantuan teman untuk diantar ke toko buku Togamas. Namun, di sana saya tidak menemukan buku terbitan Tiga Serangkai terbaru. Sebab pesan beliau juga, saya harus mencari buku diterbitkan pada bulan Januari. Saya pusing mencarinya tapi tak kunjung ketemu dan teman saya juga ingin segera pulang karena ada kepentingan di jurusannya.

Tak ada cara lain, saya meminta untuk diantar ke Royal Plaza. Saya ingin mencari buku di sana dengan konsekuensi saya harus pulang jalan kaki sebab teman saya pulang terlebih dahulu. Sayangnya, saya tidak menemukan terbitan Januari. Saya pun menghubungi guru saya. Akhirnya, setelah mendapat persetujuan, saya membeli buku terbitan Agustus 2014. Judulnya “Pelecehan Anak, Kenali, dan Tangani! Menjaga Buah Hati dari Sindrom” yang diterbitkan oleh Tinta Medina, Creative Imprint of Tiga Serangkai. Buku itu saya resensi dan dimuat di koran Duta Masyarakat pada Minggu, 8 Februari 2015 dengan judul resensi “Tanggung Jawab Orang Tua dalam Menyelamatkan Anak.”

Saya mengirimkan bukti resensi tersebut ke alamat e-mail Penerbit Tiga Serangkai. Sama sekali saya tidak mendapat balasan dari penerbit. Padahal, menurut guru saya, biasanya balasan dari penerbit itu cepat. Namun, saya menunggu hingga satu minggu tetap tak mendapat respons sama sekali. Saya pun putus asa dan melupakan apa yang telah saya usahakan. Saya fokus untuk berkarya lagi daripada menunggu yang tak pasti.

Tapi, apa yang terjadi saat saya sudah melupakan dan mengikhlaskan apa yang telah saya lakukan? Senin, 2 Maret 2015, saya ditelepon oleh Pak Qik, salah seorang pegawai TU kantor Pusat Unesa yang biasa menerima surat. Saya mendapat kiriman. Syukur alhamdulillah tiada batas saya panjatkan kepada Allah SWT. Saya mendapat kiriman dua buah buku dari Penerbit Tiga Serangkai. Jangan bertanya honor, saya tidak menerima honor berupa uang, hanya dua buah buku berjudul “Super Father” dan “Penyelamatan Negeri Peri” yang saya peroleh.

Segera saya hubungi guru saya untuk memberitahukan mengenai kabar gembira tersebut. Entah apakah beliau dari rumahnya atau memang kebetulan ada di sekitar Ketintang, saya kurang tahu. Yang pasti beliau langsung mengajak ketemuan dengan saya. Beliau mengajak saya ngopi di tempat biasa.

Satu ucapan yang muncul dari beliau yang kemudian membekas dalam hati saya hingga saat ini. Setelah saya bercerita tentang keputusasaan saya dalam menunggu kabar, beliau mengatakan, “Jangan mudah putus asa! Kamu masih baru belajar.”

Kemudian saya mengonsultasikan apa yang harus saya lakukan terhadap dua buku tersebut. Akhirnya, saya memutuskan untuk meresensi kedua buku tersebut meski saya tidak mendapat e-mail balasan dari penerbit dan juga tidak mendapat honor berupa uang. Saya berusaha untuk bersyukur, setidaknya saya tidak perlu membeli buku karena sudah dikirimi oleh penerbit.

Saya sangat berhutang budi kepada guru saya itu. Beliau adalah Mas Eko Prasetyo. Seorang guru yang sangat menginspirasi perjalanan kepenulisan dan juga hidup saya. Semoga bermanfaat!

Surabaya, 22 Maret 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun