Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Susi Pudjiasti vs Abdurrahman Wahid

2 November 2014   19:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:52 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rasanya memang tidak pantas jika seorang Susi Pudjiastuti digandengkan dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tanpa maksud berniat buruk terhadap kedua orang itu, ada sisi lain yang dilakukan Susi sehingga mengingatkan saya kepada Gus Dur. Menteri perempuan yang sering  saya anggap sebagai menteri yang cukup nyentrik dengan trobosan-trobosan hangat itu kembali melahirkan sejarah baru di awal masa jabatannya. Sebuah aksi yang mudah untuk diucapkan namun tidak mudah untuk dicontoh apalagi oleh para pejabat yang notabene mengejar posisi.

Pada Sabtu, 1 November 2014 kemarin, Susi mengunjungi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan mengungkapkan hal yang cukup peduli sosial. Beberapa tahun yang lalu ada kisah bahwa Gus Dur memberikan seluruh gajinya kepada seorang pengemis tanpa melihat terlebih dahulu jumlahnya. Kini, Susi di tengah banyaknya para nelayan juga mengungkapkan bahwa dia akan memberikan gajinya sebagai asuransi bagi para nelayan yang sudah tua. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Jawa Pos edisi Minggu, 2 Novermber 2014, gaji Susi itu sekitar sembilan belas juta.

Jika hal itu benar-benar dilakukan maka ini akan menjadi sejarah terang bagi perjalanan masa depan bangsa Indonesia. Setidaknya, keberadaan seorang pejabat tinggi negara yang telah memberikan kepedulian sosial itu dapat menjadi contoh bagi pejabat-pejabat lain. Dan kalau itu benar-benar menjadi teladan tentu KPK tidak perlu ada. Para pejabat telah lebih senang memberikan haknya kepada orang yang tidak mampu daripada mengambil hak orang lain (korupsi).

"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah," demikian sabda Nabi. Namun, tampaknya hal itu tidak semudah membalikkan tangan untuk diamalkan. Kondisi "ini milikku" dan pernik-pernik keserakahan lainnya masih kuat membenam di dalam diri seorang individu. Oleh karena itu, ide revolusi mental yang dicetuskan oleh Jokowi seharusnya tidak hanya menyentuh rakyat kecil melainkan juga para pejabat tinggi negara.

Di samping itu, untuk mendukung revolusi mental juga perlu selalu muncul aksi-aksi teladan dari para pejabat. Sebab, bagaimanapun "orang kecil" akan sering melihat dan mencontoh di atasnya. Meskipun ada ajaran yang mengatakan bahwa tidak boleh mencontoh perilaku yang jelek meskipun itu adalah orang yang lebih tua, tapi kondisi yang demikian tidak dapat dihindari. Individu akan selalu melihat orang-orang yang berada di atasnya. Jika selama ini banyak para pejabat yang melakukan tindakan korupsi maka tidak heran jika ketua RT pun terlibat korupsi.

Aksi Susi kali ini, menurut saya memang benar-benar hal perlu dicontoh oleh setiap pejabat negara. Memang tidak harus memberikan gajinya untuk rakyat akan tetapi setidaknya tidak menelan uang rakyat. Bagaimanapun rakyat telah memberikan kepercayaan kepada para pejabat sebagai penyelenggara negara dengan harapan besar untuk membawa Indonesia menuju lebih baik.

Dulu, ketika di acara Kick Andy, Gus Dur berkata, kalau lumbung itu sudah dipenuhi dengan tikus maka bakar saja dengan lumbung-lumbungnya. Namun, saya masih tetap optimis bahwa Indonesia ini belum dipenuhi oleh tikus. Masih banyak manusia-manusia yang asli, bukan siluman. Seperti yang diucapkan oleh Jusuf Kalla, karena media yang selalu memunculkan kasus-kasus korupsi sehingga di benak masyarakat terlukis bahwa semua pejabat negara tidak ada yang tidak korupsi. Padahal, yang tersangkut korupsi hanya itu-itu saja. Masih banyak pejabat-pejabat yang bersih.

Oleh karena itu, semangat untuk peduli rakyat yang dilakukan Susi itu merupakan barang langka. Tampaknya ini akan menjadi sejarah baru dalam dunia perpolitikan Indonesia. Bukan maksud menjunjung Susi, yang jelas publik seharusnya tidak hanya menilai Susi dari sisi kebiasaan yang dianggap buruk oleh kebayakan orang, merokok dan bertato. Ada sisi-sisi positif yang juga patut diacungi jempol. Dan di sinilah media juga perlu menjalankan perannya untuk selalu memberikan informasi-informasi keteladanan kepada publik. Dengan demikian, jiwa psimisme publik terhadap pemerintah dan mosi tidak percaya akan dapat diperbaiki. Semangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun