Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa yang Masih Tersisa di Negeriku?

5 Februari 2015   15:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:47 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia. Seluruh hidup saya masih hanya berkutat di Indonesia. Bukan berarti saya tidak ingin pergi ke luar negeri. Yang namanya laki-laki, orang Madura lagi, tentu juga ingin melihat keindahan-keindahan ciptaan Tuhan di negara-negara lain. Bukankah Allah juga memerintahkan kepada manusia agar keluar dari rumah, berjalan-jalan untuk melihat berbagai kondisi alam sebab tingkah laku manusia?

Namun, saya begitu prihatin saat melihat kondisi negara sendiri, Indonesia. Barangkali sebab sejak kecil saya dibesarkan di desa dengan keterbatasan alat-alat pendidikan, akhirnya saya seperti orang kuper. Pengetahuan saya tentang negeri saya sendiri pun tidak begitu banyak. Baru sejak sekolah di MAN Sumenep, di kota, saya baru mulai mendengar kasak-kusuk tentang nasib negeri ini. Sedikitnya, saya ingin mengupas tentang tiga hal yang membuat saya sangat prihatin terhadap negeri ini. Pertama, martabat. Sebab katanya, martabat suatu bangsa itu adalah harga diri bangsa. Dan tentunya semua bangsa tak ingin harga dirinya di injak-injak. Kedua, pendidikan. Konon pendidikan adalah tiang utama kemajuan suatu bangsa. Bahkan perkembangan budaya pun sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan. Ketiga, sumber daya alam. Tentu saja yang ini sudah sangat jelas. Dalam film yang berjudul “Tanah Surga Katanya” sangat gamblang digambarkan bahwa Indonesia itu memiliki kekayaan alam yang begitu banyak.

Well, saya akan memulai dari masalah martabat. Kisah yang paling membuat saya malu, meminjam kata-katanya Taufik Ismail, saya perlu menutup wajah dengan baret, adalah kisah tentang lata atau narsismenya orang Indonesia. Kiai saya yang merupakan alumni Al-Azhar, Kairo menceritakan bahwa orang Indonesia itu unik ketika naik haji. Dulu Kiai saya itu pernah membantu orang-orang yang naik haji di Makkah. Tak jarang beliau harus bertengkar dengan orang-orang Arab sebab meremehkan orang Indonesia.

Orang Indonesia ketika pergi naik haji ke tanah suci, konon gaya ndeso­-nya membuat kiai dan teman-temannya merasa khawatir. Kabiasaan membuka baju di luar kamar mandi ketika hendak mandi seringkali menarik mata orang-orang Arab untuk melirik. Lagi, kesenangan orang Indonesia berfoto dengan orang Arab, khususnya yang perempuan, hingga melengket-lengketkan tubuhnya ke orang Arab tanpa peduli apakah itu lawan jenis atau tidak juga membuat kiai dan teman-temannya tersinggung.

Bukan, bukan karena iri tentunya. Namun, ada rasa miris di situ. Dengan jelas menunjukkan bahwa begitu bangganya orang Indonesia saat bertemu dengan orang asing. Padahal secara subtansi, antara orang asing dengan orang Indonesia tidaklah jauh berbeda. Bahkan dosen pembimbing akademik saya kemarin menyampaikan bahwa orang Indonesia itu sebenarnya hebat-hebat, kreatif-kreatif. Tapi kenapa lebih bangga saat bertemu dengan orang asing?

Ya, yang ingin saya tunjukkan di sini adalah rasa merendahkan bangsa sendiri dan lebih membanggakan bangsa lain. Dapatlah kita rasakan betapa bangganya orang Indonesia saat berpose dengan orang asing? Dapat pula kita lihat betapa bangganya orang Indonesia saat mendapat kunjungan dari orang asing? Bahkan yang lebih menyedihkan, orang asing ditaruh dalam posisi yang lebih tinggi di mata masyarakat daripada bangsanya sendiri.

Kemudian masalah pendidikan. Baru-baru ini saya mendengar kabar bahwa Singapura akan membuka sekolah di Surabaya. Apakah itu sesuatu yang patut dibanggakan? Ok lah itu merupakan hal yang patut dibanggakan karena sudah ada orang asing yang mau membuka lembaga pendidikan di negeri kita. Dengan begitu maka harapannya, negeri kita dapat belajar bagaimana Singapura membangun pendidikannya.

Tapi, di sisi lain, ada hal yang juga perlu diperhatikan dengan dibukanya lembaga pendidikan oleh negara asing di negeri ini. Ya, kalau meminjam istilahnya Antonio Gramsci, tampaknya akan ada hegemoni pendidikan. Saya mengambil pengertian hegemoni menurut Gramsci sebab tampaknya lebih pas untuk mendeskripsikan masalah ini. Di mana hegemoni tidak hanya diterjemahkan dalam pengertian dominasi melainkan juga penguasaan intelektual dan pemikiran.

Dapat kita bayangkan bila pendidikan Indonesia juga sudah dihegemoni oleh negara lain. Lantas di mana pijakan pendidikan negara kita sendiri? Apakah sudah tidak percaya lagi terhadap pijakan pendidikan negeri sendiri? Bahkan baru-baru ini muncul isu bahwa untuk membuat soal ujian nasional saja, menteri akan mengundang para ilmuan luar negeri. Ah, rasanya ini sudah menunjukkan kondisi yang begitu miris. Dalam pikiran negatif saya berkata, secara tidak langsung, menteri telah menggadaikan, kalau tidak mau dikatakan meragukan para ilmuan bangsanya sendiri.

Sebagaimana yang sudah saya katakan di awal tulisan, pendidikan merupakan fondasi utama kemajuan suatu bangsa. Barangkali masih jernih dalam ingatan kita apa yang dicari kaisar Jepang saat selesai dijatuhkannya bom atom oleh tentara sekutu. Yang dicari adalah berapa guru yang masih hidup. Ya, sebab dengan adanya guru kemudian akan dilahirkan cendikiawan-cendikiawan yang andal. Tapi, kenapa di Indonesia, ilmuan saja harus mengimpor? Bukankah dalam kompetisi-kompetisi internasional, para ilmuan Indonesia selalu mendapat tempat yang istimewa?

Dan tentu saja mengimpor ilmuan itu perlu mengeluarkan dana yang besar. Meskipun kualifikasinya sama antara ilmuan Indonesia dengan ilmuan impor tersebut tentu ilmuan impor akan mendapat gaji yang jauh lebih besar dari ilmuan negerinya sendiri. Akibatnya, ilmuan Indonesia merasa tidak dihargai. Lebih memiriskan lagi, kalau ternyata ide pendidikan dari ilmuan asing tersebut tidak cocok dengan kondisi Indonesia lantas mau apa? Apakah mau diterapkan dengan paksa? Atau mau dibuang begitu saja? Kalau dibuang tentu sudah dapat dihitung berapa kerugian anggaran negara.

Masalah yang terakhir adalah sumber daya alam. Sudah mafhum diketahui oleh banyak orang bagaimana kekayaan Indonesia dikeruk habis-habisan oleh bangsa lain. Tentu tidak asing bila Freeport dijadikan contoh. Bagaimana perusahaan tersebut mengeksploitasi kekayaan alam negera Indonesia. Ratusan perusahaan asing beroperasi di Indonesia, yang tentunya mereka tidak hanya meminjam tempat melainkan juga mengeruk kekayaan negara ini.

Betapa uniknya negeri ini, air mineral saja harus dikuasai oleh asing. Siapa yang tidak tahu tulisan Danone yang tertera dalam kemasan air mineral merek Aqua? Siapa yang tidak tahu tulisan Unillever yang tertera dalam kemasan-kemasan sabun atau sampo? Ah, saya merasa gagal memahami kondisi negeri ini. Betapa banyaknya eksploitasi yang dilakukan oleh negara asing di negeri kita. Atau lebih tepatnya, negeri kita sedang dijajah.

Baiklah, munculnya perusahaan-perusahaan asing di negeri kita tentu bukan tanpa sebab. Bagaimana pun mereka menjamur melalui prosedur. Tidak lain dan tidak bukan, salah satu ide munculnya perusahaan asing karena Indonesia masih memiliki hutang pada IMF dan World Bank. Ingat, sebagian besar saham IMF dikuasai oleh AS sehingga kebijakannya pun lebih mengacu pada AS. Dan sebagai negara adidaya, AS berambisi untuk menanamkan ideologinya terhadap negara-negara lain. Mengenai konsep penanaman ideologi sudah tertera dengan jelas dalam Konsensus Washington.

Demikianlah penjelasan singkat sementara yang dapat saya berikan mengenai kemirisan saya melihat kondisi negara Indonesia. Negara yang sangat saya cintai ini. Sebenarnya akan sangat panjang bila penjelasan di atas dideskripsikan lebih detail dan disertai data-data. Namun, saya sengaja membuat tulisan ini tidak dipenuhi dengan data-data angka agar lebih mudah direfleksikan. Entah apa yang masih tersisa di negeri ini. Berbagai kekayaan sudah dieksploitasi dengan kejam. Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun